Sabtu malam, tepat pukul tujuh. Kebetulan sekali Ela sedang tidak berencana pergi ke manapun. Biasanya sabtu malam menjadi malam yang wajib bagi Vita untuk memuaskan diri bermain di tempat bermain anak sebuah mall. Kali ini sepertinya Vita lebih memilih untuk menonton film disney kesayangannya. Syukurlah, Ela juga sedang lelah.
Sambil menemani Vita nonton film dengan Sofi, Ela melunjurkan kaki di atas sofa. Tubuhnya di sandarkannya di bantal besar, dengan ponsel yang selalu setia di tangannya.
Dia membaca sebuah pesan yang sudah dibacanya tadi. Dari Kevin. Sepertinya pertemuan mereka tadi belum cukup bagi Kevin untuk menyampaikan sesuatu.
Sekali lagi terima kasih untuk kedatangannya, Ela. Kamu memang baik. Sekalipun kamu tahu aku adalah lelaki yang tidak tahu diri, tapi kamu tetap kemari.
Ela meletakkan ponselnya dengan malas. Jujur saja, dia tidak suka membaca pesan itu. Membaca pesan itu membuat kejengkelannya kepada Kevin justru semakin dalam. Tidak seharusnya Kevin mengiriminya pesan demikian. Itu sama saja lelaki itu tidak menunjukkan perubahannya yang selama ini diharapkan oleh Ela.
Kemudian ponselnya berdering kembali. Dengan kemalasan tinggi, dan dengan kecurigaan bahwa Kevinlah yang mengiriminya pesan lagi, Ela memungut benda itu, lalu tercengang.
Sebuah nomor yang tak dikenal, yang belum disimpannya di kotak nomor telepon, terpampang di depan matanya pada aplikasi WhatsApp dengan pesan yang membuat penasaran.
Ela membaca dengan dahi berkerut.
Ela, ini malam minggu, kan? Sepertinya akan menjadi malam yang menyenangkan kalau kita pergi jalan-jalan. Dengan Vita?
Sesegera mungkin Ela menekan foto kecil yang terpampang di atas pesan tersebut. Lalu ketika foto itu membesar, dia melihat wajah Frans. Astaga! Dulu ketika dia baru saja pulang dari Anyer, dan Frans menyakan alasannya mengapa pulang buru-buru, saat itu Ela langsung menghapus nomor Frans setelah membalas pesan. Jadi ketika baru saja nomor itu kembali muncul, Ela sungguh tdak mengetahuinya.
Seketika dadanya berdebar. Ada desiran halus yang mengganggu pada setiap aliran darahnya. Dia membutuhkan waktu beberapa menit untuk berpikir. Antara iya dan tidak. Kemudian teringat statusnya yang masih istri Dedi, dengan berat hati dia mengetikkan kalimat balasan.
Terima kasih untuk tawarannya, Frans. Tapi maaf, aku tidak bisa.
Tidak perlu menunggu satu menit ketika ponselnya berbunyi lagi.
Aku sudah di depan rumahmu.
Kali ini Ela membeliak mengetahui keberanian lelaki itu. Tubuhnya tiba-tiba menegang dan tergopoh-gopoh menuju ruang tamu. Tapi sebelum dia membuka pintu, dia mengatur napasnya terlebih dahulu. Berusaha bersikap tenang dan tidak terlalu menunjukkan semangatnya.
Ketika dia baru saja membuka pintu rumahnya, dia melihat Frans melambaikan tangan. Lelaki itu berdiri di depan pagar rumahnya. Dengan senyum lembut dan sangat ramah.
Ela menghampirinya dengan wajah menunduk. Sejujurnya ada perasaan bahagia saat menyadari kehadiran Frans di rumahnya. Tapi ada pula perasaan takut. Takut kalau saja dia jatuh cinta lagi padahal dia belum memiliki surat cerai. Dia takut Dedi mengetahui kedekatannya dengan Frans, meskipun sejauh ini masih sebatas teman. Dia hanya takut Dedi menyebutnya berselingkuh, sedangkan pengadilan belum memutuskan perceraian mereka.
Tapi salahkah jatuh cinta lagi pada saat suaminya sudah tidak menghiraukannya selama hampir satu tahun? Dedi bahkan hanya pulang sebulan sekali. Itupun hanya untuk menyakitinya.
Dia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa dia juga masih membutuhkan pasangan hidup, yang setia tentu saja. Menikah dengan Dedi adalah sebuah kesalahan. Tidak bosan-bosannya dia membodohkan dirinya sendiri karena pernah tergiur dengan cinta yang Dedi tawarkan. Ternyata semua itu hanyalah kepalsuan.
Sekarang, ada lelaki yang dia tahu, Frans jelas berbeda dengan Dedi. Frans lebih sopan dan ramah. Hanya satu yang dia belum tahu mengenai Frans, tentang agamanya. Meskipun Bu Fatma juga berjilbab, itu tidak menjamin bahwa Frans adalah lelaki yang beriman terhadap agamanya. Karena bagi Ela sekarang, dia bukan hanya mencari sosok suami yang mencintainya dengan setia, namun juga memiliki ketakwaan yang tidak bisa diragukan lagi. Yang bisa menuntunnya lebih dekat kepada Allah. Dan semoga kali ini dia tidak salah memilih.
“Frans...”
“Hai, El!”
“Frans, kenapa tidak menghubungiku dulu sebelum kemari?” Ela berkerut bingung. Bingung bagaimana caranya menolak jika lelaki itu sudah berada di rumahnya.
“Aku tahu kamu pasti menolakku. Jadi aku langsung kemari.”
Ela menghela napas panjang dan berat. Sejujurnya dia kagum dengan cara Frans mendekatinya. Frans tergolong lelaki yang pantang menyerah. Keberanian Frans justru membuat Ela berharap lebih dari itu. Dan dia benci sekali perasaan seperti ini.
“Frans aku tidak bisa...”
“Kita bawa Vita ya, atau masih ada orang lain di dalam rumahmu?” Frans berhenti sebentar sambil memandang Ela yang tertegun bingung. “Pergi bersama tentu sangat menyenangkan.”
Pada akhirnya mereka pergi berempat. Frans, Ela, Vita, dan Sofi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
Ficção GeralPerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...