Angela 25

772 47 0
                                    

Mereka makan malam dengan tenang. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Semua berlangsung datar, tanpa ada sebutan mesra, kata-kata sayang, atau pandangan lembut. Semua tidak ada. Bahkan Frans makan begitu lahapnya sampai tidak menghiraukan cara makan Chika yang lebih banyak mengaduk makanan.

“Tidak kamu habiskan?” tanya Frans sambil mengelap mulutnya.

Bagaimana aku bisa menghabiskan? Tanya Chika dalam hati. Kamu tidak memperhatikanku sama sekali!

“Aku kenyang,” jawabnya kemudian mendorong piring yang hanya berkurang beberapa sendok.

“Kapan kamu kembali ke Surabaya?”

Kening Chika berkerut. “Kakak ingin aku segera kembali?”

“Aku hanya bertanya. Jangan menduga yang tidak-tidak.”

“Kak, aku sudah bosan ya sama sikapmu. Sejak aku pulang, kamu seperti nggak suka.”

Frans mendesah lelah. Mungkin sekaranglah dia harus memutuskan Chika. Dia tidak mau menyakiti gadis itu. Jadi lebih cepat dia mengatakannya, lebih tenang pula hatinya.

Dia yakin keputusannya tidak salah. Dia tidak ingin kehilangan Ela. Impiannya kali ini hanya berumah tangga bersama Ela. Menghabiskan usia dengan wanita yang dipercayainya akan memberinya kebahagiaan.

“Chika, ada baiknya kalau kamu fokus terhadap kuliahmu.”

“Maksudnya?”

“Aku tidak ingin hubungan kita mengganggu kuliahmu. Jadi kukira lebih baik kita break dulu.”

“Maksudmu, Kakak mau kita putus? Begitu?” suara Chika mulai meninggi. Jujur saja dia tidak mengira Frans akan mengucapkannya. Sejak dari rumah dia sudah membayangkan bahwa Frans akan kembali seperti dulu lagi. Tidak tahunya malah sebaliknya. Frans minta putus. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.

“Chika, kamu masih terlalu muda.”

“Jadi perempuan itu yang membuat kamu minta putus dari aku? Kamu tahu aku sudah menyebarkan bahwa bulan ini kita akan bertunangan? Semua saudaraku sudah tahu!” Chika hampir histeris.

“Chika, tenanglah,” Frans merasa tidak enak ketika beberapa pengunjung menoleh kepada mereka. Seperti melihat tontonan gratis, sepasang kekasih sedang bertengkar di tempat umum. “Dan siapa yang kamu maksud dengan ‘perempuan itu’?”

“Janda itu!”

Mendidih darah Frans mendengarnya. Sekalipun Ela adalah janda, tapi dia tidak suka ada menyebut Ela seperti itu. Baginya Ela tetaplah wanita terhormat. Tidak peduli dengan statusnya.

“Jaga bicaramu!”

“Kenapa? Kamu tidak terima? Dia memang janda gatal yang mau menggaetmu, kan?”

Kalau boleh, Frans ingin sekali membekap mulut Chika yang telah berani menuduh Ela sehina itu. Tidak pantas Chika menghina orang lain sebenci itu, padahal dia belum tahu kebenarannya.

“Jangan memfitnahnya, Chika. Dan jangan mengalihkan pembicaraan. Yang sedang kita bicarakan mengenai hubungan kita. Aku ingin mengakhirinya baik-baik.”

“Kamu ingin mengakhirinya karena ada penyebabnya!”

“Asal kamu tahu, Chika. Dia belum menjadi janda. Dia masih punya suami. Jadi tidak mungkin aku merebutnya dari suaminya kecuali dia telah bercerai.”

“Mereka pasti bercerai karenamu!”

“Jangan sok tahu!”

Frans bangkit dari duduknya dengan geram. Gadis ini ternyata tidak sanggup mengontrol emosinya. Tidak dapat diajak berbicara baik-baik. Tidak mau menerima keadaan bahwa kekasihnya tidak memiliki rasa apa pun padanya. Tidakkah Chika merasa dia memang tidak pernah bersikap mesra layaknya seorang lelaki kepada kekasihnya? Atau Chika tahu tapi tidak peduli? Mungkin saja cinta sudah membutakan matanya.

“Sekarang aku yakin kamulah yang memblokir nomor Ela dari ponselku!” Frans bernapas panjang. “Kukira kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaan ini, Chika.” Frans memandang dengan putus asa. “Tapi ternyata kamu masih labil.”

Frans memutar tubuhnya untuk pergi meninggalkan gadis itu. Tapi tanpa diduganya sedikit pun, Chika berteriak memanggilnya dan menahan kakinya untuk menghentikan langkahnya. Gadis itu berlutut sambil memeluk kaki kanan Frans. Seketika Frans membeliak terkejut.

***

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang