Angela 24

729 40 0
                                    

Pukul satu siang. Frans belum juga pulang. Sudah empat jam dia bermain-main dengan Vita. Mulai dari bermain monopoli, kartu, boneka, yang terakhir nonton DVD cinderella bersama. Mereka sudah seperti ayah dan anak yang menghabiskan waktu libur di rumah. Berbaring bersama menyaksikan film dongeng sambil mengobrol.

Ela tidak melepaskan pengawasan terhadap mereka. Meskipun dia tidak ikut bergabung, dia memerhatikan mereka dengan seksama. Sebenarnya dia tidak dapat menahan senyum ketika mendengar candaan mereka. Duh, gengsi sekali kalau Frans sampai tahu dia tersenyum.

“Ela, Frans belum pulang juga?” tanya Bu Septa yang datang setelah Ela menghubunginya. Ela merasa tidak nyaman ketika ada seorang lelaki yang bukan suaminya berada di rumahnya. Belum waktunya Frans bertamu selama ini. Karena itu dia menelepom ibunya satu jam setelah kedatangan Frans.

“Mereka masih asyik menonton film, Bu.”

“El, kamu harus tegas padanya.”

Ya, itu yang tidak dilakukannya sedari tadi. Ketegasan. Ketegasannya menguap entah ke mana saat melihat betapa bahagianya Vita bermain bersama Frans. Akhirnya Ela mendekati mereka.

“Frans, sudah waktunya Vita tidur siang.”

Frans bangkit dari tidurnya. Dia berdiri di depan Ela kemudian tersenyum. Dari bawah, Vita menyahut, “Om jangan pulang.”

“Vita harus tidur siang.”

Vita tidak menyahut. Mata kantuknya kembali menatap televisi. Sepertinya dia sudah lelah dan ingin memejamkan mata.

Ela mendahului melangkah ke pintu depan, diikuti Frans, setelah sebelumnya Frans berpamitan kepada Bu Septa dan Sofi.

“El, maafkan aku,” ucap Frans sebelum melangkah melampaui pintu.

“Sudahlah, Frans. Tidak ada yang perlu dimaafkan.”

“Aku ingin kamu bersikap seperti dulu.”

“Sejak awal aku meragukanmu, Frans. Dan sekarang aku yakin bahwa kamu memang bukan yang terbaik bagiku.”

“El, aku akan memutuskannya.”

“Sekarang belum.”

“Tapi tidak bisakah kamu bersikap seperti biasa? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa kita tidak memiliki hubungan apa pun? Lalu kenapa kamu bersikap seperti ini?”

Ela menoleh dengan gusar. “Kamu membohongiku, Frans!”

“Ela, maafkan aku. Apa yang harus kulakukan supaya kamu memaafkanku?”

“Menjauhlah dariku, Frans.” Ela mengatakannya dengan suara lirih.

“Dengan memblokir nomorku?”

Ela kembali menoleh. Kali ini keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu?”

“Maksudku, kamu memblokir nomorku supaya aku menjauhimu?”

“Frans, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan.”

Kali ini Frans-lah yang mengernyitkan dahi. Dugaan awal bahwa Ela memblokir nomornya menjadi samar-samar. “Kamu tidak memblokir nomorku, Ela?” tanya Frans dengan pasti. Rasa bingung menderanya. Tapi ketika melihat Ela menggeleng cepat, Frans percaya Ela tidak berbohong.

***

Chika berdandan cepat ketika Frans meneleponnya dan mengajaknya makan malam. Dia mengenakan gaun terbaiknya dan membiarkan rambut pendeknya tergerai lurus sampai ke bahun. Wajahnya yang imut, dipolesnya dengan make up yang sesuai dengan bentuk wajahnya. Beberapa kali dia menilai penampilannya sendiri di depan kaca. Dan setelah merasa penampilan sudah oke, dia menyambar tas mungilnya lalu berangkat dengan hati gembira.

Dia mendesah lega ketika dalam perjalanan. Dia percaya perasaan Frans padanya tidak berubah. Frans tetapnya miliknya yang dulu. Mungkin Frans hanya tergoda sebentar oleh rayuan janda. Maklumlah, janda adalah wanita berpengalaman, jadi bisa mencari letak titik lemah lelaki. Itu menurut Chika.

Dia yakin Frans kini sudah bisa menilai lebih objektif, mana wanita yang paling tepat untuk seorang lelaki keren seperti Frans. Dia bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan makan malam romantis ini. Atau kalau perlu, dia akan menentukan tanggal pertunangan bulan ini juga.

Pertunangan jelas akan mengikatnya dengan Frans lebih erat. Kalau dipikir-pikir, tidak perlulah menikah menunggu sampai dia lulus kuliah. Menikah di tengah-tengah perkuliahan rasanya juga tidak masalah. Ada dua temannya yang sudah menikah. Dan mereka baik-baik saja. Tidak tertekan atau pun terbebani. Semua kembali pada keadaan masing-masing.

Hm, Chika mengulum senyum, tak tahan merasakan getaran hatinya yang bersorak bahagia. Tidak sangka, kalau Frans akan sadar secepat ini. Awalnya dia berpikir akan butuh tindakan beberapa kali untuk menarik Frans kembali seperti dulu. Yah, meskipun dulu Frans memang tidak begitu perhatian kepadanya.

Frans terlalu serius menghadapinya. Padahal dia ingin punya pacar kocak atau konyol seperti teman-teman lelakinya di kampus. Tapi bukankah dia jatuh cinta karena Frans tidak bertindak kekanak-kanakan? Jadi keliru kalau sekarang dia mengharapkan Frans bersikap seperti anak muda. Frans adalah lelaki dewasa.

Mungkin aku yang harus berubah lebih dewasa, pikirnya. Mungkin penampilannya akan dirubah lebih dewasa seperti wanita pekerja. Supaya Frans lebih menyukainya dan pantas bersanding dengan lelaki mapan seperti Frans.

***

Ada komentar?

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang