Angela 19

824 51 0
                                    

Bu Septa memutuskan untuk tidak pulang. Beliau memilih untuk menginap di rumah Ela, menemani Vita yang untuk hari ini tidak berani mengganggu mamanya. Gadis itu hanya memeluk ibunya yang sedang berbaring sedih.

“Mama sakit?”

“Nggak, Sayang,” jawab Ela kemudian meminta Vita tidur di pelukannya. “Vita sudah makan?”

“Sudah, Ma. Sama sayur bayem.”

“Anak pinter.” Ela mengelus kepala anaknya. “Belum ngantuk?”

“Mama udah ngantuk?” Vita balik bertanya.

“Nggak, Mama nggak ngantuk. Vita mau tidur sini?”

“Tidur sama Mbak Sofi aja. Mbak Sofi bilang punya cerita baru. Dongeng Putri Sofia.”

Ela tersenyum haru. Matanya terpejam merasakan kulit lembut Vita.

“Mama kapan belajar baca dongeng yang keren kayak Mbak Sofi?”

Pertanyaan Vita tak urung membuatnya tertawa. Membaca dongeng memang bukan keahliannya. Dia sudah berusaha membaca semenarik mungkin, tapi tetap saja Vita lebih suka pada Sofi.

“Nanti deh ya, Mama akan tanya sama Mbak Sofi, gimana sih caranya baca dongeng yang bikin Vita suka.”

“Beneran ya, Ma?”

“Bener.” Ela mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tanda berjanji, membuat Vita tertawa lebar. Saat itu Bu Septa memasuki kamarnya.

“Ayo, Vita. Kita nonton TV. Biar mama bisa istirahat.”

“Ma, Vita nonton TV dulu ya.”

Ela mengecup kedua pipi putrinya kemudian membiarkan Vita keluar dengan ibunya. Tepat pada saat itu ponselnya berdering. Dari Frans.

Ela tidak berminat untuk mengangkatnya. Dia masih belum sanggup berbicara dengan lelaki itu. Dia takut tidak dapat menahan rasa kecewanya yang ujung-ujungnya berakhir dalam tangisan.

Ela tidak ingin menangis di depan Frans. Dia tidak mau merendahkan harga dirinya. Seorang Ela tidak boleh menunjukkan kelemahannya di depan lelaki. Itu prinsip.

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ela tetap membiarkan ponselnya berdering tanpa berkeinginan untuk menerimanya. Biar saja kalau Frans merasa bersalah. Memang itu yang harus lelaki itu rasakan.

Frans dalam kondisi sadar penuh menyatakan rasa ketertarikannya. Jadi kalau sekarang ternyata ada seorang gadis yang mengaku akan bertunangan dengannya, dan Frans tidak menyanggahnya secara langsung, bisa dipastikan hal itu adalah sebuah kenyataan, yang tentunya sangat menyakitkan.

Frans seperti tidak putus asa menghubunginya. Ketika teleponnya tidak diterima oleh Ela, lelaki itu mengiriminya pesan.

Ela, aku ingin bicara. Tolong terima teleponku.

Ela memandang pesan itu dengan sayu. Matanya kembali berkaca-kaca. Entahlah mengapa sekarang dia sangat rapuh. Mungkin karena dalam waktu yang hampir bersamaan dia dihadapkan pada situasi sulit, bercerai dan dikecewakan oleh lelaki lain.

Terlihat tanda Frans sedang mengetik lagi tertera di layar ponselnya.

Ela, aku mohon, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.

Ela bergeming. Dia tidak mau mendengar apa pun. Sudah cukup dia menjadi wanita bodoh yang untuk kedua kali dipermainkan oleh lelaki.

Ela aku ada di depan rumahmu.

Pesan ketiga yang hanya berjarak lima menit dengan pesan kedua, kini terbaca lagi. Ela semakin larut dalam kesedihan ketika mengetahui Frans kini berada tidak jauh darinya. Seperti biasa, lelaki itu langsung saja hadir tanpa memberitahu.

Ela tidak mau memperpanjang masalah ini. Dia berpikir lebih baik baginya untuk tidak bertemu. Biarlah keadaan dan waktu yang memutuskan akan ke mana masalah ini akan berakhir. Semua akan dipasrahkannya kepada Allah.

***

Pagi hari. Setelah semalam pikirannya kalut, membuatnya tidur pulas sampai pagi, meskipun dia baru bisa terlelap pukul dua belas malam. Dibiarkannya Frans menantinya tanpa harap. Dia hanya menengok lewat ujung jendela kamarnya. Mobil Frans masih terparkir di tepi jalan di depan rumahnya.

Sebenarnya saat itu, dia merasa iba. Begitu nekatnya Frans menantinya sampai tengah malam. Padahal sehuruf pun dia tidak membalas pesan Frans. Dia berpikir, dia akan menyudahi ini semua, sebelum terlambat. Sebelum hatinya terpaut terlalu dalam.

Tapi pagi ini, ketika dia baru saja membuka pintu garasi rumahnya, dia melihat mobil Frans kembali terparkir di depan pagar. Ketika melihat dirinya, Frans bergegas keluar dari mobil. Saat itu pagar Ela telah terbuka karena Sofi sedang berbelanja. Frans langsung menyerobot masuk.

“Ela.”

Kalau boleh, Frans ingin memeluk wanita itu. Dia ingin mengungkapkan bahwa dia benar-benar menyayangi Ela. Dia ingin Ela tahu bahwa dia tidak pernah berbohong mengenai perasaannya.

Ela tidak panik. Dia sudah mampu menguasai sikap. Dia berdiri dengan tenang. Meski make up tidak dapat menutupi wajahnya yang sayu, dia memandang dengan redup.

“Ela, semalam aku menunggumu,” gumam Frans tidak tahu lagi harus memulai dari mana.

“Maaf, Frans, aku harus segera berangkat,” elak Ela tanpa menghiraukan kalimat Frans.

“El, beri aku kesempatan menjelaskan semuanya.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Frans. Kita tidak mempunyai hubungan apa pun.”

Terlihat Frans seperti menelan ludah, tertegun dengan kenyataan itu, bahwa mereka tidak terikat oleh hubungan apa pun. Kekasih bukan. Apalagi suami.

“Ela, kamu tahu aku mencintaimu.”

“Frans, maaf aku harus berangkat.”

Ela meninggalkan Frans yang masih membeku seperti orang bodoh. Sedangkan Ela segera menaiki mobilnya dan berangkat dengan hati yang berat. Di dalamnya, kembali dua tetes air matanya mengalir. Dia benci harus menangisi lelaki yang belum pantas dia tangisi. Oh, hinanya dirinya! Menangis untuk lelaki yang bukan suaminya.

***

Ela sedang sakit hati, obatnya hanyalah doa.

Vote dan comment ya
Follow ig atiya_aw

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang