“Ya Allah, Ela. Kebahagiaan mana yang kamu maksud? Tidakkah kamu merasa menjadi salah satu wanita sangat beruntung dengan apa yang kamu miliki sekarang? Nikmat manakah yang kamu dustakan?”
Air mata Ela semakin deras mengalir. Hatinya semakin pedih mendengar pertanyaan dan pernyataan ibunya. Selama ini dia selalu mencoba untuk bersabar menghadapi cobaan dari Allah. Dia berusaha memahami kehendak Sang Maha Pencipta. Semua cobaan seakan lebur seiring dengan keimanannya yang semakin meningkat.
Ela tidak akan pernah lupa seperti apa dirinya dulu. Dia bukan wanita yang betul-betul bertakwa. Agama hanya sebagai tempat berlindung dari pertanyaan mengenai keyakinannya. Saat itu Bu Septa juga sama seperti dirinya.
Pengalaman berpacaran dengan Fedi, Edo, dan Dedi membuatnya menyesal karena baru kali ini dia merasa, betapa tidak berharganya dirinya. Ela memang masih sanggup menjaga kehormatannya setiap kali menjalin cinta. Tapi di samping itu, dia membiarkan mereka menciumnya. Jika mengingat itu, dia ingin terus bersimpuh memohon ampun kepada Allah.
Ela baru berubah ketika cobaan demi cobaan menerpanya. Dan kesemuanya berkaitan dengan lelaki. Apalagi setelah mengetahui kejamnya Dedi menduakannya, dia merasa hina dan direndahkan. Ela tidak akan pernah lupa, ketika suatu hari dulu dia mencari keberadaan Dedi yang jarang pulang. Dia menemukan suaminya itu sedang berada di rumah mantan istrinya yang baru kembali dari luar negeri bersama anak lelakinya.
Ela tidak akan lupa seperti apa mesranya mereka. Hati wanita mana yang tidak akan sakit ketika melihat lelaki yang dicintainya berpelukan dengan wanita lain. Mungkin seperti itulah perasaan Edo dulu, saat melihat dia dengan Dedi berselingkuh di belakangnya. Dan karma itu berlaku pada dirinya sekarang.
Namun saat itu Ela tidak terlalu memikirkannya terlalu dalam. Setelah gagal meminta Dedi untuk memilih, pada akhirnya dia bersikeras untuk bercerai. Kesedihan pada saat menghadapi proses perceraian menjadi ringan saat dia mengenal Frans. Lalu seperti inikah akhirnya?
“Ela, kamu harus tabah. Masih banyak orang lain di luar sana yang mendapat cobaan lebih berat dari pada cobaanmu.”
“Saya tidak bisa fokus dalam pekerjaan jika selalu saja ada masalah dalam diri saya.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah Dedi tidak pernah datang kemari lagi? Perceraian kalian juga akan segera berakhir.”
“Frans,” Ela tidak mampu menahan bibirnya untuk tidak menyebut nama lelaki itu.
“Frans? Lelaki yang beberapa hari yang lalu datang kemari?”
Ela mengangguk pelan.
“Dia menyakitimu?”
“Dia akan bertunangan.”
“Ya Allah, Ela. Ini yang ibu takutkan saat mengetahui kalau kalian saling suka.” Bu Septa menarik napas panjang. “Ela, belum waktunya kamu memikirkan lelaki lain. Fokuslah pada proses perceraianmu.”
Ela pun menginginkan demikian. Dia tidak mau berhubungan dengan lelaki lain sebelum resmi bercerai. Tapi bagaimana menghindari Frans? Bagaimana menghalau pesona Frans? Frans terlalu menarik untuk diabaikan. Apalagi jika lelaki itu menunjukkan ketertarikannya tanpa malu-malu. Lalu wanita mana yang sanggup menahan hatinya?
“Maafkan saya, Bu. Saya memang tidak berniat untuk menikah lagi dalam waktu dekat. Tapi kehadiran Frans sudah membutakan mata hati saya.”
“Dan, Ela, bagaimana kamu yakin kalau Frans akan bertunangan? Ibu rasa dia benar-benar menyukaimu.”
“Gadisnya sudah datang, Bu. Saya tidak mungkin bersaing dengan gadis belia!”
Suara Ela serak basah dibalut air mata. Ini adalah tangisan ketiga yang sangat menyiksa hatinya. Tangisan pertama pada saat kematian Fedi. Tangisan kedua pada saat mengetahui Dedi mengkhianatinya. Dan sekarang, pada saat Frans mempermainkan perasaannya.
***
Frans duduk di sofa dengan lemas. Kakinya berselonjor dengan kedua tangan memegang kepalanya. Chika yang melihatnya berkerut bingung. Gadis itu semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Frans, kekasihnya sejak enam bulan yang lalu.
“Kak, ada apa sih? Dia siapa?” tanya Chika dengan wajah berkerut kesal.
Frans menarik napas panjang. Matanya terpejam rapat menyadari bahwa ini semua adalah sebuah kekeliruan. Dia seolah melupakan bahwa dia telah memiliki kekasih. Chika baru saja datang dari Surabaya. Gadis itu sedang kuliah hukum di sana. Bulan ini bertepatan dengan masa libur semester.
“Kenapa kamu datang tiba-tiba?” tanya Frans lemas tanpa menghiraukan pertanyaan Chika. Dia masih dirundung kebingungan.
“Aku cuma mau kasih kejutan. Ada apa sih?” Chika ikut duduk di sampingnya. “Dia siapa?”
“Rekan bisnis.”
Chika menyipitkan matanya. Antara percaya dan tidak. Dia tentu bisa melihat pandangan mata antara mereka berdua. Keterkejutan Frans juga sangat mencurigakan. Apalagi wajah wanita itu, Chika tahu, ada yang tidak beres diantara mereka. tapi untuk sementara waktu dia tidak akan membahasnya. Hari ini adalah hari pertama mereka bertemu setelah tiga bulan berpisah. Jadi Chika akan menahan rasa ingin tahunya dan melupakan sejenak masalah ini.
“Udah waktunya makan siang nih. Keluar yuk.” Chika menggamit lengan Frans, berusaha menariknya untuk berdiri.
“Aku belum lapar, Chika.”
“Kok gitu sih? Bukannya seneng pacarmu datang.”
Iya, Chika memang pacarnya. Mereka bertemu saat pembukaan pertama Grandies, waktu Frans belum memiliki kekasih. Awalnya dia terlalu sibuk mengejar karirnya di Grandies Mall di kota lain. Saat ada pembangunan Grandies Mall di kota tempat kelahirannya, dia dipindahtugaskan.
Chika memang tidak termasuk dalam seleranya. Dia menyukai wanita seperti Ela yang dewasa dan mandiri. Hanya saja saat itu dia belum menemukan wanita yang diimpikannya. Perkenalan dengan Chika yang memang cantik dan muda, menggugah minatnya sebagai seorang lelaki. Anggaplah, dia hanya iseng menjalin asamara dengan putri pimpinannya. Apalagi mengingat usia mereka yang terpaut 10 tahun.
Menjalin kasih dengan Chika memang bukan untuk mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Dia tidak membutuhkan itu. Dia hanya menganggap bahwa sudah waktunya dia memikirkan pernikahan. Usianya sudah mencapai angka tiga. Dan kehadiran Chika yang agresif membuatnya senang karena tidak perlu lelah mengejar cinta wanita.
Namun sekarang, permainan itu ternyata cukup meresahkannya. Kini dia jatuh cinta kepada Ela tapi dia terlanjur terikat pada Chika. Sungguh, dia belum pernah merasakan ingin selalu bertemu dengan wanita selain Ela. Dengan Chika, dia tidak pernah rindu.
“Ayolah, Kak. Kenapa sih kok jadi nggak bersemangat begini?” Chika memberengut kesal.
Memang bukan keputusan yang tepat untuk menolak ajakan Chika pada saat mereka bertemu kembali. Ini sungguh keterlaluan. Jadi, meskipun dia enggan, pada akhirnya dia mengikuti saja kemauan Chika.
Dia memutuskan untuk tidak menghubungi Ela sekarang. Mungkin nanti malam, dia akan menelepon Ela. Kalau perlu dia akan mendatangi rumah wanita itu. Dia tahu Ela pasti kecewa dengan apa yang sudah dilihatnya. Sejauh ini dia sudah terus terang bahwa dia tertarik pada wanita itu. Jadi jangan sampai Ela merasa dipermainkan.
***
Ada yang pernah merasakan pada posisi Ela?
Bagaimana perasaan kalian?Vote dan comment

KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
General FictionPerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...