Angela 3

1.5K 78 0
                                    

Ela mencoba memejamkan mata ketika Vita sudah terlelap dalam tidurnya. Gadis itu tampak pulas dengan pipi gembulnya. Ela tersenyum sendiri mengamatinya. Diusapnya pipi putrinya dengan penuh kasih sayang. Dibetulkannya selimut yang sudah menyingkap di bawah kakinya. Kemudian dikecupnya dengan lembut.

Ela tidak pernah puas untuk bersyukur telah memiliki putri mungil secantik Vita. Ini adalah anugerah terbesarnya. Satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidupnya. Seorang anak yang membuatnya bersemangat dan untuk terus meyakini bahwa kepedihan hidup yang dialaminya tidak sebanding dengan keberadaan Vita.

Semua akan dilakukannya demi Vita, asalkan Vita bahagia. Hanya saja ada satu hal yang membuat Vita seringkali pulang sekolah dengan raut wajah sedih. Ya, dia selalu menanyakan mengapa dia tidak memiliki papa. Ela tidak akan mampu menjawab. Bibirnya terkunci rapat. Dia hanya memeluk dan menyalurkan kehangatan kasih sayang seorang ibu, ibu yang bersedia selalu disampingnya meski tak ada seseorang yang bisa dipanggilnya papa.

Kemelut demi kemelut kehidupan telah membuatnya menjadi wanita yang lebih dingin dan pendiam. Dia tidak mudah lagi menerima perhatian lelaki. Sebisa mungkin dia menghindarinya. Dia selalu was-was jika instingnya mengatakan bahwa ada lelaki yang memerhatikannya lebih dari perhatian lelaki pada umumnya. Keadaan ini selalu membuatnya resah. Meskipun dia masih sanggup mengontrol sikap dengan selalu bersikap tenang dan ramah. Itu sudah menjadi sikap yang ditanamnya sebagai seorang pimpinan perusahaan.

Ela tidak ingin terlihat sebagai pemimpin yang gugup dan gelisah. Dia ingin selalu terlihat tegar dan mampu bersikap dengan tenang dan bijaksana. Tapi itu semua hanya bisa dilakukannya saat dia di dalam kantor atau dalam pertemuan bisnis dengan rekan kerja. Di luar itu semua, Ela tidak begitu sanggup berdiri tenang. Seperti halnya kini, saat dia bertemu dengan Frans.

Sebagai wanita yang berpengalaman dengan tiga orang lelaki, Ela merasa ada yang lain dalam sikap lelaki itu, dalam sorot mata Frans. Ela ingin menghilangkan kecurigaan itu dalam kepalanya, tapi kecurigaan itu selalu datang dan datang lagi saat Frans berada di dekatnya. Hingga dia tidak mudah lelap dalam tidur malam ini.

Ela mendesah lelah. Dia harus tidur. Ini sudah hampir tengah malam. Besok Vita mengajak berwisata lagi. Tapi dia harus mengernyitkan keningnya ketika keesokan paginya, sebelum dia ke lobi untuk menghubungi supir yang dibawanya dari rumah, ponselnya berdering dengan nama Bu Fatma yang tertera.

Ragu-ragu Ela mengangkatnya, lalu salam Bu Fatma yang sumringah telah menerimanya.

“Bu Ela, saya ingin mengajak Bu Ela untuk berwisata bersama. Biar ramai, Bu. Apalagi ada Vita yang pasti bikin suasana jadi tambah menyenangkan,” ucap Bu Fatma panjang lebar langsung ke inti pembicaraan.

Ela kebingungan menjawabnya. Sebenarnya berwisata bersama memang terdengar menyenangkan. Tapi jika itu harus bertemu dengan Frans lagi... Ya Allah, bisakah Engkau jauhkan aku dari lelaki yang belum ingin aku hadirkan dalam kehidupanku?

Astaga, ini sudah keterlaluan! Pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Dia sudah curiga Frans jatuh hati padanya dalam waktu satu hari. Dia mengira Frans akan mendekatinya dan memerhatikannya. Ini memalukan!

Tidakkah dia berpikir bahwa mungkin saja Frans sudah memiliki kekasih, atau istri barangkali. Mengapa harus berpikir yang bukan-bukan, meski hatinya berpendapat lain?!

“Maaf, Bu, tapi saya membawa mobil sendiri,” tolak Ela halus.

“Bu, lebih baik sama kami saja, ya. Biar ramai. Kami akan berangkat pukul delapan. Bu Ela siap-siap, ya. Assalamualaikum.”

Sambungan putus, sebelum Ela menjawab keraguan atau kepastiannya. Itu salah satu hal yang tidak disukainya dari Bu Fatma. Seseorang yang selalu memaksa meskipun caranya baik dan halus. Tapi memang seperti itulah seharusnya sikap pebisnis. Pandai mengarahkan dan bernegosiasi supaya bisa menarik perhatian rekan bisnisnya.

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang