Angela 15

855 45 0
                                    

Hari senin telah tiba. Hari yang dikenal dengan hari sibuk oleh kebanyakan orang. Entah apa bedanya dengan hari selasa, atau hari rabu, bagi Ela sama saja. Setiap hari adalah kesibukan.

Ela bekerja seperti biasa. Dia berusaha melupakan percakapan antara dirinya dan ibunya kemarin pagi. Dia tidak mau terus dalam suasana yang membingungkan. Lebih baik kalau dia fokus saja pada pekerjaan. Dan hari ini dia akan mengecek laporan keuangan bulan lalu. Sampai sekitar pukul sembilan pagi, ponselnya berdering.

Jangan lupa, Ela, hari ini kirimkan barang minimal 100 buah untuk display.

Frans. Ela memejamkan mata sebentar untuk menenangkan hati dan pikirannya. Tentu saja dia tidak akan lupa untuk mengirimkan barang ke kantor Frans. Dia pun tidak akan pusing siapa yang akan mengantarkannya sejak Kevin tidak bekerja lagi padanya. Staf bagian marketing bukan hanya Kevin.

Tenang saja, Frans. Aku tidak akan lupa.

Terlihat Frans sedang mengetik lagi. Ela menantinya dengan sabar.

Sorry, El, aku tadi menghubungi Pak Kevin. Tapi Pak Kevin bilang tidak lagi bekerja denganmu. Karena itu aku mengingatkanmu.

Ingatan Ela berlayar kembali pada Kevin. Dia terdiam beberapa menit sampai Frans mengirim pesan lagi menuliskan namanya, pertanda supaya Ela segera membalas pesan.

Arfo yang akan mewakili Kevin.

Arfo adalah salah satu staf marketing yang dinilainya cukup handal.

Aku ingin dirimu saja yang datang.

Ela mengerutkan kening membaca pesan itu.

Jangan main-main, Frans. Mana ada pimpinan perusahaan yang menangani sendiri semua kegiatan distribusi?

Di tempat yang berbeda, Frans tersenyum geli membaca pesan Ela. Dia bisa membayangkan seperti apa wajah Ela yang mungkin sedang cemberut.

Tidak ada alasan, Ela. Kamu harus datang. Atau aku akan membatalkan perjanjian bisnis kita.

Gila! Ela melotot tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sejak kapan ada ancaman saat dia berbisnis? Frans memang keterlaluan, geram Ela. Segala alasan mengenai pekerjaan dibuatnya sebagai cara untuk bertemu dengan wanita pujaannya. Ela tidak habis pikir bagaimana Frans bisa melakukannya.

Tapi kalau boleh jujur, sama sekali tidak ada kemarahan atau bahkan kebancian dalam hati Ela. Ela hanya jengkel, cukup itu saja. Dan kejengkelan itu tidak kemudian membuatnya bertahan akan ancaman Frans. Dengan hati yang ringan, dia justru berangkat bersama beberapa karyawan pengemasan. Tujuan utamanya bukan hanya pertemuan bisnis. Tapi juga bertemu dengan Frans. Lelaki yang kini terang-terangan mencuri perhatiannya.

***

Ada kebahagiaan yang tak dapat disingkirkannya saat dia mendatangi mal tempat Frans bekerja. Kebahagiaan itu muncul dengan sendirinya dari lubuk hatinya, tersirat langsung dalam wajahnya yang berseri-seri.

Entahlah, Ela tidak dapat melawan hatinya. Meskipun seringkali dia malu, mengapa dia mudah tertarik kepada Frans. Karena biasanya, wanita dalam masa perceraian berada dalam masa-masa kepedihan yang mendalam. Seburuk apa pun alasan bercerai, pasti menyisakan penderitaan yang akan sulit dilupakan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menghilangkan segala kenangan yang tentunya akan terus membekas.

Tapi Ela? Bahkan saat Dedi beberapa kali masih muncul di hadapannya, dia sudah kepikiran kepada lelaki lain. Lelaki yang dimatanya begitu menghormatinya sebagai wanita. Yang bersikap begitu sopan layaknya lelaki dewasa yang tahu cara memperlakukan wanita dewasa.

Ela melenyapkan senyum ketika dia tiba di depan ruangan Frans. Dia tida mau Frans tahu bahwa dia sedang bahagia. Biar saja lelaki itu mengira bahwa dia masih jengkel dengan ancaman akal-akalan Frans.

“Hai, El.” Frans bangkit dari duduknya ketika melihat Ela berdiri dengan anggun. Dengan gaun dari kain batik yang terlihat amat sangat lembut, dibalut blazer berwarna hitam yang pas sekali dengan tubuhnya. Sedangkan jilbabnya disampirkan di bahu seperti biasa. Frans begitu terpukau melihatnya.

Ela jelas bisa menangkap sorot kekaguman itu. Dia melihat Frans tertegun sesaat seperti tidak puas-puasnya memandangnya. Dia berpikir untuk segera menyapa untuk menghilangkan kecanggungan ini.

“Hai, Frans. Aku tidak terlalu cepat datang, bukan?”

“Tentu tidak,” ucap Frans tersenyum kemudian mempersilakn Ela duduk. Dia sudah bisa menguasai diri dan bersikap seperti biasa. Dia tidak mau membuat Ela jengah dan tidak nyaman berada di sampingnya.

“Mau minum apa, Ela?”

“Apa saja, Frans.”

Frans meminta salah satu staf yang tadi mengantarkan Ela untuk membawakan dua gelas teh hangat. “Apa kabar, El?” Frans menatap demikian lembut.

“Alhamdulilah, aku baik-baik saja, Frans. Bagaimana denganmu?”

“Aku bahagia, El. Bahagia dengan kedatanganmu.”

Ela menyipitkan mata sekaligus berdebar resah. Dia jadi ingat pesan terakhir Frans. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membahasnya. “Aku datang karena kamu mengancamku, Frans.” Ela pura-pura geram.

Frans tergelak. Tawanya ringan sekali dengan gaya yang memukau tentu saja. Sebenarnya tadi dia hanya bercanda, hanya supaya dia bisa bertemu dengan Ela. Supaya Ela tidak punya kesempatan untuk melupakannya. Kalau masalah bisnis, mana mungkin dia asal membatalkan kerja sama.

Sorry, El. Aku harus berpikir keras bagaimana caranya supaya kita bisa bertemu. Dan ancaman itu sepertinya berhasil.”

“Aku menyesal karena takut ancamanmu.” Ela melirik gemas.

***

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang