Kehidupan ini bagaikan gelombang air laut yang tak pernah tenang sekali pun angin berhembus sepoi-sepoi. Menerjang pasir pantai hingga sebagian pasir ikut hanyut ke dalam air laut. Suara deburannya pada waktu malam pun meresahkan setiap orang yang mendengarnya. Seperti itulah kehidupan yang dirasakan Ela. Belum reda kekecewaannya kepada Dedi, sekarang Frans juga menanamkan kekecewaan semakin dalam.
Sikap Frans yang selama ini menampilkan gerak-gerik ketertarikan padanya ternyata hanyalah kepalsuan. Lelaki itu akan bertunangan dengan perempuan lain. Teganya Frans mempermainkan perasaannya. Padahal Ela sudah begitu terbuai sejak berkenalan dengan Frans.
Jika dipikir-pikir, hal ini juga tidak luput dari kesalahannya. Dia terlalu cepat membuka hatinya untuk lelaki lain pada saat dia belum resmi bercerai. Lagi pula, bagaimana mungkin dia mengira Frans betul-betul jatuh hati padanya. Dia hanya seorang janda yang pernah menikah dua kali. Lelaki menawan seperti Frans tidak mungkin memilihnya. Seribu gadis perawan pasti bisa didapatkannya. Jadi perasaan ini, perasaan bahwa Frans tertarik padanya adalah pemikiran yang bodoh.
Ela menghapus air mata yang diam-diam mengalir di kedua pipinya. Saat ini dia sedang menyetir untuk kembali ke kantornya. Cuaca mendung dengan gerimis yang mulai turun membuatnya semakin galau. Kesakitan dan kepedihan semakin menjalari hatinya.
Ela menghela napas panjang untuk meredakan tangisnya. Tapi tak sanggup dia menahan sesak di dada. Selama ini dia terlalu mempercayai lelaki. Padahal sebagai seorang pimpinan perusahaan, dia begitu jeli me-manage perusahannya untuk semakin maju.
Kesuksesan Ela tidak perlu dipertanyakan lagi. Selama hampir sepuluh tahun dia mampu mendirikan perusahaan dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan lancar. Hingga saat ini karyawannya hampir menembus angka tujuh ratus orang.
Tangan emasnya membuat orang lain berdecak kagum. Siapa yang menyangka dia bisa menjadi seorang pemimpin perusahaan hingga berusia 28 tahun sekarang.
Tapi sekali lagi, kesuksesannya dalam meniti karir tidak sesukses perjalanan cintanya. Kehidupan cintanya penuh liku dan air mata. Entah kapan cintanya akan bermuara pada orang yang tepat.
Kehadiran Frans menimbulkan setitik benih harapan di hatinya. Kelembutan, kesopanan, dan keramahan Frans menjadi kelebihan dalam lelaki itu. Ela begitu terpesona dan terbuai. Meskipun dia mampu menahan diri untuk tidak lunglai, dan dia masih teguh pada ajaran agamanya, tapi dia tidak sanggup membohongi diri bahwa dia mengharapkan Frans.
Ela tidak akan membiarkan perasaannya berkecamuk terlalu dalam. Kalau ditanya soal cinta, Ela yakin, dia belum jatuh cinta kepada Frans. Sejauh ini, hanya ketertarikan yang dia rasakan. Jadi, sebelum ketertarikan itu berubah menjadi cinta, Ela akan berusaha menghalau rasa ini. Perlahan, dia pasti akan bisa melupakan Frans. Memang benar yang Ibu bilang, dia harus waspada, mengingat pengalaman buruk pernah menimpanya dalam soal cinta.
Ela tidak berminat lagi untuk kembali ke kantor. Mood-nya berubah drastis. Dia kehilangan semangat bekerja. Hatinya masih terlampau sakit. Percuma bekerja dalam keadaan seperti ini, dia tidak akan sanggup. Akhirnya, dia memutar balik mobilnya dan memilih untuk pulang.
Dan untuk kali ini saja, ketika dia mendapati ibunya sedang berada di rumahnya bersama Vita yang baru pulang sekolah, Ela kesal mengapa ibunya harus berada di rumahnya. Ibunya pasti tahu perubahan wajahnya. Jadi, sudah pasti ibunya akan mengorek informasi darinya.
"Ela, tumben sudah pulang?"
"Iya, Bu. Saya sedang sakit kepala," jawabnya sedikit berpaling. Hanya supaya ibunya tidak melihat matanya yang mungkin saja merah setelah menangis lama. Dia buru-buru menaiki tangga rumahnya supaya ibunya tidak mendesaknya untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Dan sepertinya Bu Septa cukup mengerti untuk tidak mengejar. Beliau memilih untuk tidak pulang dan menemani Vita sampai sore. Hingga setelah magrib, saat tidak dilihat tanda-tanda Ela akan keluar dari kamarnya, Bu Septa memberanikan diri untuk masuk kamar putinya.
Saat itu Bu Septa melihat Ela baru saja selesai sholat. Wajah Ela masih sama saja seperti tadi. Suntuk dan lesu. Bu Septa semakin yakin bahwa anaknya kembali lagi ditimpa masalah. Mungkinkah karena Dedi?
"Ibu sudah menyiapkan makan malam," ucap Bu Septa lembut kemudian duduk di tepi pembaringan, melihat Ela yang sedang melipat mukena.
"Terima kasih, Bu. Saya makan nanti saja. Saya masih belum lapar."
Ela membaringkan diri dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Dia memejamkan mata. Tidak begitu memedulikan ibunya.
"Ada apa, El? Dedi membuat masalah lagi?"
Dedi? Dedi justru sudah dua minggu tidak datang. Ela begitu lega karena Dedi sudah tidak berhak lagi memasuki rumahnya. Satu bulan lagi sidang kedua digelar. Dan berakhirlah pernikahan mereka.
"Dedi mengancammu?" Bu Septa menduga-duga karena Ela belum juga menjawab.
"Tidak, Bu," jawab Ela akhirnya. Dia ragu-ragu untuk menceritakan permasalahannya.
"Lalu ada apa? Mengapa kamu jadi lesu begini? Kantormu baik-baik saja, kan?"
"Alhamdulilah, kantor tidak pernah ada masalah, Bu."
"Ela," Bu Septa mendekatkan diri duduk di samping tubuh Ela. beliau memijat lembut kaki putrinya yang tertutup selimut tebal. Sedangkan Ela, ketika menyadari sentuhan itu, dia jadi teringat masa kanak-kanaknya. Ketika Ibu sering memijat kakinya pada malam hari sambil menonton televisi bersama ayahnya.
Entah karena teringat masa lalu, atau dia sedang dalam masa labil, Ela menangis diam-diam. Dia menyembunyikan wajahnya hanya supaya ibunya tidak melihatnya. Tapi tentu saja Bu Septa mengetahuinya.
"Ela, kenapa menangis? Ceritakan pada Ibu, ada apa sebenarnya?" kening Bu Septa berkerut, gelisah memandangi wajah Ela.
"Saya sedih, Bu. Mengapa hidup saya seperti ini." Ela tidak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Tangisnya terdengar menyayat hati.
"Ela," Bu Septa menggeser duduknya mendekati kepala Ela. Kemudian mengangkat kepala Ela dan merebahkannya di pangkuannya. Beliau mengusap rambut putrinya dengan kelembutan yang hanya seorang ibu saja yang mampu memberikannya. "Sabar, El. Ibu tahu seperti apa cobaan yang menimpa hidupmu. Semakin tinggi kamu menggapai duniamu, semakin keras pula angin yang menghempaskan tanganmu."
"Bu, mengapa saya tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti yang wanita lain rasakan?"
"Ya Allah, Ela. Kebahagiaan mana yang kamu maksud? Tidakkah kamu merasa menjadi salah satu wanita sangat beruntung dengan apa yang kamu miliki sekarang? Nikmat manakah yang kamu dustakan?"
Air mata Ela semakin deras mengalir. Hatinya semakin pedih mendengar pertanyaan dan pernyataan ibunya. Selama ini dia selalu mencoba untuk bersabar menghadapi cobaan dari Allah. Dia berusaha memahami kehendak Sang Maha Pencipta. Semua cobaan seakan lebur seiring dengan keimanannya yang semakin meningkat.
***
Jangan lupa vote dan comment ya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
General FictionPerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...