Ela memunguti pakaiannya dengan isak tangis tertahan. Sedangkan Dedi masih tertidur pulas dengan bertelanjang dada. Ela sangat menyesali ini semua. Selalu seperti ini kejadiannya jika Dedi datang. Memaksanya untuk menjadikannya pelampiasan hasratnya yang entah ke mana mantan istrinya itu, sampai-sampai Dedi masih menginginkannya juga.
Ketika Ela baru saja keluar dari kamar mandi, Vita membuka kamar ibunya dan terlongong karena melihat Papa Dedi yang sudah sebulan tidak dilihatnya.
“Ma, Papa Dedi pulang?” ucapnya dengan suara perlahan.
Tanpa menjawab pertanyaan Vita, Ela mengajak anaknya keluar lalu menutup pintu kamarnya. Dia tidak ingin Vita melihat Dedi dalam keadaan seperti itu. Tidak pantas menurutnya.
Ela menemani Vita di dalam kamarnya sampai gadis kecil itu tertidur. Kemudian setelah dia memanggil Sofi untuk menemani Vita, Ela kembali ke kamarnya. Saat itu Dedi sudah bangun.
“Aku ingin kamu cepat pergi dari sini, Di!”
“El, kenapa bersikap seperti ini? Kamu masih saja cemburu!”
“Aku tidak cemburu!” sembur Ela tidak terima. “Kamu berselingkuh. Berzina dengan perempuan lain atas nama anak kalian. Aku tidak bisa menerima itu. Aku jijik padamu!”
Mendengar kata jijik, menyulut kemarahan Dedi. Lelaki itu bangkit dari tidurnya kemudian menyerang Ela lagi. Dia mendekap erat tubuh Ela sampai Ela tidak bisa bergerak. Namun sebelum Dedi melakukannya lagi, Ela berdesis.
“Kalau kamu berani melakukannya lagi...”
“Apa? Mau menyuruh anak buahmu untuk membunuhku?” tantang Dedi tanpa takut sedikitpun.
Tanpa menjawab, Ela mendorong kuat-kuat tubuh suaminya kemudian memungut kemeja Dedi dan melemparkannya ke wajah lelaki itu.
“Aku bilang cepat pergi!”
Dengan tatapan marah dan bibir yang terkatup rapat, Dedi membuka pintu kemudian berlalu dengan geram sambil memakai pakaiannya. Meninggalkan Ela yang diam-diam menangis dalam kepedihan.
***
Pukul tujuh tiga puluh, Ela sudah sampai di kantornya pada saat pegawainya belum ada yang datang. Jam masuk kantor memang pukul delapan, tapi sebagai pimpinan, dia selalu datang lebih awal dan pulang paling akhir. Semua itu dilakukan supaya tidak ada pegawai yang datang terlambat.
Tapi lain hari ini, Mutia sudah duduk manis di mejanya. Mutia adalah sekertarisnya. Dia menggantikan Rani yang dulu diketahuinya telah kerja sama dengan Edo untuk merekam percakapannya dengan Dedi. Saat itu dia dan Dedi masih dalam hubungan perselingkuhan. Mungkin inilah yang disebut karma. Kini, dia yang ditinggal pergi untuk berselingkuh oleh Dedi.
Berulang kali dia memohon ampun dalam setiap sujudnya. Mengingat semua dosanya. Menggunung seperti butiran pasir di pantai. Kali ini dia telah bertobat. Dia berhijrah kepada kehidupan yang lebih mulia. Tidak peduli orang mau berkata apa. Yang terpenting dia telah menyesali semuanya dan ingin mengakhiri pernikahannya dengan Dedi. Meskipun menyesal itu tak ada gunanya, Ela tetap merasa menyesal telah buru-buru menerima lamaran Dedi. Seandainya dulu dia lebih berhati-hati...
Astagfirullah, tidak boleh dia berandai-andai. Semua ini sudah menjadi takdir dari Allah. Semua sudah terencana. Biarlah ini menjadi pelajaran hidup yang tak ternilai harganya. Menjadikan wanita yang akan lebih berhati-hati dalam menapaki hidup atau mungkin dalam memilih suami yang lebih baik.
Ela mendesah pasrah mengingat itu semua. Kemudian dengan tarikan napas panjang, dia menyapa Mutia.
“Selamat pagi, Mutia,” sapa Ela dengan senyum tipisnya. Dia memang seperti itu. Tidak bisa bersikap terlalu ramah pada karyawannya. Senyuman tipis saja menurutnya sudah cukup. Apalagi saat didera masalah seperti ini, bisa tersenyum saja sudah bersyukur.
“Selamat pagi, Bu Ela.” Mutia mendahului langkah Ela kemudian dengan cekatan membukakan pintu masuk ruangan Ela. Dia menunggu sampai bosnya duduk.
“Minum teh atau kopi, Bu?”
“Kopi saja, Tia. Saya lagi penat.”
“Sudah sarapan, Bu?”
“Hanya minum susu segelas. Saya lagi tidak bernafsu untuk makan.”
“Perlu saya bawakan sarapan, Bu?”
“Tidak perlu, terima kasih. Tolong beri tahu saya jadwal hari ini.”
Mutia membuka map yang sedari dari dipegangnya.
“Sebenarnya hari ini Bu Ela tidak ada jadwal apapun. Tapi Kevin tadi menelepon saya kalau sekarang dia tidak bisa masuk kerja karena istrinya melahirkan. Mungkin nanti dia akan menelepon Bu Ela.”
“Jadi ada jadwal apa?” tanya Ela setelah berpikir sejenak untuk menjenguk Hera, istri Kevin, yang tidak lain adalah temannya semasa kuliah dulu.
“Ada pertemuan dengan pihak manajemen Mal Grandies untuk menunjukkan sample produk supaya dipertimbangkan apakah memenuhi standar kualitas Grandies.”
Berarti itu pertemuan penting, gumam Ela. Kevin, manajer marketingnya, sudah berusaha keras menjalin kerja sama dengan Mal Grandies. Jadi kalau sekarang pihak manajemen Grandies memintanya membawa sample produk, itu berarti mal tersebut memberikan kesempatan kepada perusahaannya untuk memasarkan produknya di sana.
“Oke, saya yang akan menggantikan Kevin nanti. Tolong hubungi bagian pengemasan untuk menyiapkan sample terbaiknya.”
“Baik, Bu.” Mutia berbalik kemudian ke pantry untuk menyiapkan kopi pesanan Ela.
Sedangkan Ela masih termenung di ruangannya memikirkan Kevin yang kini sedang berbahagia dengan kelahiran putra pertamanya.
Ada perasaan lega ketika mendengar Kevin kini telah memiliki putra. Semoga saja dengan kelahiran putranya, Kevin tidak lagi menunjukkan gerak-gerik mencurigakan.
Ya, Ela tahu betul bahwa Kevin juga memiliki rasa padanya. Bahkan mungkin sejak dulu. Sejak dia masih merintis usahanya sebagai pebisnis dan saat itu dia masih berhubungan dekat dengan Hera. Ela sudah bisa memastikan bahwa Kevin menaruh hati padanya.
Hingga saat Hera meminta tolong padanya supaya mempekerjakan suaminya, Ela tidak sanggup menolak. Padahal sejujurnya Ela tidak mau Kevin bekerja padanya. Itu sama saja memberi kesempatan pada Kevin untuk mendekatinya. Namun ternyata dugaannya salah. Kevin tidak pernah berusaha mendekatinya. Namun sorot mata Kevin seringkali membuatnya resah dan gelisah. Sebisa mungkin Ela meminimalisir waktu bertemunya dengan Kevin. Dia akan meminta Kevin untuk keluar dari ruangannya setelah lelaki itu melaporkan hasil kerjanya.
Dan sekarang Kevin sudah mendapatkan seorang putra. Semoga saja itu bisa membuat rasa yang pernah tumbuh di hatinya kepada Ela, luruh dengan sendirinya.
***
Please vote
Follow ig : atiya_aw

KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
General FictionPerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...