Suasana sudah seperti pasar ikan menjelang jam perkuliahan. Alih-alih duduk di kelas menunggu dosen tiba, mahasiswa lama seperti mereka lebih senang meriung di lantai di sepanjang selasar depan ruang perkuliahan.
Melepaskan canda dan tawa tanpa beban, seolah urusan kuliah yang tidak lulus-lulus, IPK yang tidak kunjung naik, atau tugas dari dosen yang menumpuk tidak ada habisnya, bukan sebuah dosa besar yang harus segera mereka tebus.
Reina ikut meriung di lantai bersama teman-temannya, kepalanya bersandar di tembok kelas belakangnya. Kedua lututnya terlipat di depan dadanya, didekap erat oleh lengannya. Menaruh dagunya di atas lutut, mukanya kusut layaknya buntelan kertas bekas, sedangkan bola matanya menerawang. Kedua lubang telinganya terlalu tuli untuk mendengar celotehan teman-teman di sekitarnya.
"Lantas, rencana lo apa, Re?" Davin ikut melipat lututnya di depan Reina, kedua bola matanya menatap Reina penuh perhatian.
"Gue harus berhasil membawa pulang seorang cowok, Dav. Siapapun dia. Kalau tidak, orang tua gue akan memaksa gue buat berkenalan dengan putra Pak Jamar."
Reina menarik napas panjang, mukanya makin suntuk.
"Bagaimana kalau lo coba mengajak salah seorang teman mapala?" Davin mencoba memberikan solusi.
Namun, Reina menggeleng kuat.
"Hei, bagaimana kalau lo pendekatan ke Teja. Gue mendengar kalau dia barusan putus dari Angel, anak arsitek." Davin berbisik seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Reina. Mata dan dagu Davin menunjuk ke arah seorang cowok yang duduk di lantai tak jauh dari mereka.
"Lo diam-diam doyan gosip juga ya? Daya jelajah lo luar biasa, sampai menembus tembok antar fakultas." Reina menyindir dengan wajah bersungut-sungut. Kontan Davin terbahak mendengar sindiran sahabatnya.
"Kali saja lo mau."
"Gue enggak setuju ide lo, Davin. Gue nggak mau kalau anak mapala apalagi teman satu kelas! Gila. Muka gue mau ditaruh di mana?"
"Muka lo? Ya, ditempel di kepala lo lah. Di mana lagi?" Davin berujar sembari tersenyum lebar.
"Iih, Davin! Maksud gue, mereka pasti berpikir gue enggak sanggup cari cowok. Lagipula, siapa sih yang mau jadi tumbal gue ke orang tua gue?" Reina melirik keki.
"Aduh, repot banget lo. Enggak usah memikirkan yang rumit-rumit, yang penting lo selamet dan tujuan lo tercapai. Titik." Davin memandang gemas sahabatnya.
"Reina itu aslinya malu kalau ditolak, Davin." Tahu-tahu Kevlar menyambar dari sebelah Davin. Tak menggubris manik mata Reina yang seketika itu juga melotot geram ke arah mulut usilnya.
"Heh! Gue enggak begitu. Sembarangan lo, Kev!"
"Masalahnya di penampilan lo yang enggak jelas gender-nya itu, Re. Makanya cowok-cowok berpikir dulu kalau mau pendekatan ke lo."
Kevlar membalas tatapan Reina dengan gaya santai.
"Davin, gue boleh kasih tonjokan ke pacar lo ini enggak? Sekaliii saja, please." Reina berpaling memandang ke arah Davin minta persetujuan. Davin hanya terkikik geli, kapan sih dua orang ini tidak bertengkar dan bisa akur sejenak?
"Dicoba saja dulu, Re. Tanya salah satu teman mapala lo, barangkali ada yang mau membantu." Davin mencoba meyakinkan Reina kembali yang makin sibuk menggeleng tak setuju.
Tiba-tiba kepala gadis itu mendongal dan menyeringai senang. Seolah sudah memecahkan sebuah masalah besar, Reina langsung menyergap kedua pundak Kevlar dan mengguncangnya keras.
"Oey! Lo kenapa?!" Kontan Kevlar meronta kesal, kaget dan terengah-engah. Biarpun fisik Reina perempuan, tetapi terkadang tenaga dia lebih dari fisik luarnya.
"Gue ada ide! Bagaimana kalau lo saja, Kev?" Kedua bola mata Reina berbinar penuh harapan. Kepalanya berpaling ke arah Davin. "Dav, gue boleh pinjam Kevlar sehari saja? Masalahnya cuma dia yang paling tahu permasalahan gue. Daripada gue pusing, benar bukan?"
"Gue sih terserah Kevlar." Davin mengedikkan bahu dengan santai seraya melirik ke arah pacarnya.
"Apa? Gue?! Ogah!" Kontan Kevlar menggeleng kuat. Permukaan wajahnya memerah kesal.
"Tugas lo cuma datang lalu makan doang, Jabrik. Enggak ada ruginya buat lo." Reina menyahut dengan suara jengkel.
"Pokoknya gue enggak mau jadi pacar pura-pura lo. Titik! Memang gue cowok apaan!" Kevlar membalas dengan muka sebal.
"Gue enggak mau orang lain sampai tahu, Jabrik. Malu gue! Dulu saja gue ikhlas kok jadi makcomblang lo sama Davin. Padahal, gue dahulu pesimis Davin bakal suka sama lo. Gue memperjuangkan lo biar Davin mau sama lo meski muka lo pas-pasan begitu."
Kontan Davin tergelak mendengar kalimat Reina.
"Sialan lo, Re. Buka aib gue saja." Kevlar bersungut-sungut sendiri.
"Sekarang giliran gue butuh bantuan, lo menolak. Balas budi sedikit kenapa sih? Benar bukan, Dav?" Reina mencari dukungan suara ke arah Davin.
"Bantu Reina, Kev. Kasihan Reina sudah putus asa." Akhirnya Davin membela sahabatnya.
"Kamu ikut sekalian saja, Dav. Sempurna deh, pacar dan sahabat." Wajah Reina mulai cerah. Masalah dia terpecahkan.
"Iya! Lo happy, gue yang apes!" Kevlar menimpali dengan wajah masam.
"Hari Sabtu ini gue enggak bisa, Re. Ada acara keluarga di Sukabumi. Maafkan aku, Kev. Lo sendirian berani, kan?" Kicauan Davin membuat Kevlar makin geregetan.
"Hhhh! Apes dah. Apes!" Kevlar mengaduk rambut jabriknya dengan gemas.
"Nanti ke Jakarta kita naik Bety. Pulangnya ke Bandung, lo naik kereta sendiri ya?" Reina tersenyum lebar dan tak bisa menyembunyikan kelegaannya. "Tenang, Kev. Gue memberi tiket kereta gratis special buat lo."
Kevlar kembali menyumpah pelan.
"Kalau bukan Davin yang minta, gue ogah tau!" Gerutu Kevlar. Davin seketika terkekeh di sebelahnya.
"Oh ya, hampir lupa. Lo harus mengenakan baju yang rapi, Kev. Pakai kemeja kalau perlu." Reina menunjuk kaos berkerah yang dipakai Kevlar untuk kuliah saat ini.
"Enggak mau! Kalau mau ya begini, enggak mau ya sudah lo cari figuran yang lain saja!" Sembur Kevlar.
"Iiih. Ya sudahlah daripada enggak ada." Reina akhirnya mengalah daripada Kevlar jadi mengambek, malah jadi gawat.
Akhirnya percakapan mereka terhenti karena Pak Cahyono dosen mata kuliah Bussines Project mulai berjalan cepat di sepanjang selasar ruang perkuliahan.
Mereka membubarkan diri, lalu berduyun-duyun bersama mahasiswa yang lain memasuki kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...