Mengenakan t-shirt gombrang warna putih pudar serta pants hitam pendek, Reina memalaskan tubuhnya di atas ranjang kamar. Kelopak matanya berkedip lambat, memandang pagu kamarnya yang berwarna coklat muda.
Reina sudah tak tahu harus melakukan apa lagi untuk membunuh waktu. Buku fiksi koleksinya sudah dilalap habis, channel televisi tak ada yang menarik hati lagi, ingin melanjutkan menulis skripsi tetapi tak membawa materi. Minggu lalu, saking panik harus secepatnya tiba di Jakarta, Reina hanya terpikirkan untuk membawa laptop, minus materi skripsinya. Alhasil, sudah beberapa hari ini Reina nyaris mati gaya.
Ia tidak terbiasa berdiam di suatu tempat dalam waktu lama. Biasanya kedua kaki Reina sudah gatal buat berkumpul dengan teman-teman mapalanya untuk merencanakan acara hiking berikutnya.
Tetapi khusus kali ini, Reina berusaha menenangkan diri meski sekujur otot-otot di tubuhnya seakan berteriak-teriak menuntut minta dibebaskan. Reina memang sengaja bertahan karena kalimat mamanya untuk papanya pada hari Minggu yang lalu sebelum mereka pulang dari rumah sakit.
"Ivander masih sibuk, Papa. Dia berjanji dengan mama, minggu depan pasti menjenguk papa di rumah."
Tidak ada niat Reina untuk menguping pembicaraan orang tuanya, tetapi memang Reina ada di situ saat percakapan itu terjadi. Gadis itu tengah membantu mamanya membereskan perlengkapan papanya untuk dibawa pulang kembali.
Kalau hingga sekarang Reina masih mendekam di rumah, bukan berarti pula Reina merindukan kedatangan Ivander. No! No! No!
Reina hanya ingin penjelasan, mengapa si muka plastik bisa tiba-tiba ada di indekosnya dan mengaku sebagai pacar Ivander. Huh!
Namun, sampai sekarang sudah hari Rabu, Ivander tak muncul-muncul juga di rumah orang tuanya! Reina sangat penasaran, tetapi ia terlalu gengsi untuk bertanya kepada mamanya.
Gosh!
Ivander sibuk apaan sih? Sibuk dengan Fiona yang hendak kembali ke Amerika? Reina merutuk sendiri.
Mana setiap pagi, mamanya melemparkan pertanyaan-pertanyaan aneh pada Reina.
"Loh, Na. Tumben kamu tidak balik ke Bandung? Skripsimu baik-baik saja?" Begitu terus setiap pagi, sampai Reina gemas sendiri.
"Kalau aku di Bandung, mama terus bertanya 'kapan pulang ke Jakarta, Na?'. Sekarang, aku di rumah terus mama malah bertanya 'kapan balik ke Bandung, Na?'. Mama bagaimana sih?" Mulut Reina merujung sewot.
"Artinya mama perhatian padamu, Na. Jarang-jarang loh kamu betah diam di rumah tanpa perlu diancam-ancam mama segala." Lalu mamanya akan tertawa terkekeh gembira, seolah habis menang lotere atau dapat arisan jutaan.
Mamanya memang kadang suka berlebihan.
Reina kembali menelungkupkan badan dan membenamkan kepalanya dalam bantal. Dari mulut Reina keluar desahan lelah.
Tahu bakal kecewa begini, mendingan sejak kemarin Reina balik ke Bandung. Sehingga minggu ini Reina sudah bisa mulai memikirkan isi bab empat.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk seseorang. Reina berpikir paling mamanya, atau Bi Mince yang memintanya untuk makan siang.
Huh, minggu ini hidup Reina sudah seperti ulat bulu. Makan-tidur-makan-tidur lagi! Membosankan.
Malas-malasan, Reina beringsut dari ranjang dan menyeret kakinya untuk membuka pintu. Benar saja, matanya mendapati Bi Mince berdiri di depannya.
"Ada apa, Bi Mince? Mama menyuruh makan siang?" Masih berdiri di tengah pintu kamar, Reina menggeliatkan seluruh otot-otot lengan dan punggungnya. Sedangkan, mulutnya menguap amat lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...