[ Part 17 ]

12.6K 1.3K 96
                                    


Dalam kepanikan, Reina membanting kemudi Bety ke kiri dan ke kanan untuk mencari tempat parkiran di kampus. Untung di bawah pohon Tanjung, tempat favorit Reina, masih kosong. Reina cepat-cepat menginjak pedal Bety menuju ke sana.

Sambil meraih ransel coklat dari jok sebelah, mata Reina melirik army di pergelangan tangannya sekilas. Jam sudah menunjukkan lewat 50 menit dari pukul 2 siang. Shit!

Reina terlambat. Sangat terlambat.

Kegelisahan menggelenyar tak diundang di sekujur punggung Reina. Setengah berlari, kaki Reina meniti anak tangga menuju ke ruang dosen di lantai 3.

Tak lupa, mulut Reina terus merapal doa semoga bimbingan Ivander masih mengantri seperti minggu lalu.

Gara-gara mengikuti saran Kevlar, Reina jadi harus berputar-putar terlebih dahulu untuk mencari cake yang cocok ia bawa saat bimbingan siang ini. Reina lupa memperhitungkan jalanan Bandung yang saat ini mengalami perbaikan di beberapa tempat.

Duh, Reina berkali-kali memaki betapa goblok dirinya.

Mengatur napas yang masih ngos-ngosan, mata Reina nyalang menatap bangku di depan ruangan 312 yang sudah kosong melompong dan sepi.

Oh. Tuhan! Ivander sudah pulang!

Dengan jantung berdegup keras, ragu-ragu Reina membawa tubuhnya berjalan mendekati pintu. Tangannua mencoba memutar handel pintu 312 lantas mendorongnya. Tak terkunci!

Terima kasih, Tuhan! Rongga dada Reina seketika jadi ringan.

Reina melongok sebentar, mengetuk daun pintunya beberapa kali lalu berjalan masuk.

Ivander tengah berdiri membelakangi pintu masuk. Ia menunduk di depan kabinet kaca yang letaknya tak jauh dari meja. Pintu kaca kabinetnya masih terbuka lebar, tangan Ivander memegang sebuah buku tebal yang mungkin baru saja ia ambil dari dalam kabinet.

"Selamat siang, Pak." Sapa Reina lirih. Menurut Reina, volume suaranya cukup terjangkau sampai radius tempat Ivander berdiri saat ini.

Kardus cake berukuran sedang sengaja Reina sembunyikan di belakang tubuhnya.

Tidak ada jawaban dari Ivander. Mengingat kejadian minggu lalu, Reina langsung menghambur menuju ke kursi di depan meja Ivander.

Belum sempat pantat Reina mendarat dengan selamat di kursi, Ivander sudah memutar tubuhnya. Manik matanya memandang Reina tajam, menahan amarah.

Reina tertegun. Ia hanya mampu berdiri terpaku membalas tatapan Ivander. Manik-manik keringat dingin tiba-tiba saja sudah hadir di sekujur punggung Reina, membuatnya lupa akan niatnya yang hendak duduk.

"Kenapa baru datang jam segini?" Ivander menegur dengan suara garang.

Glek. Susah payah Reina menggelontorkan ludah ke kerongkongannya yang mendadak mengering. Apa yang mesti Reina katakan kepada dosen yang lagi melotot marah padanya ini?

"Maaf, Pak." Akhirnya Reina hanya bisa menunduk dengan rasa salah, memandangi sepasang converse merah miliknya.

"Duduk!" Perintah Ivander.

Seperti diingatkan kembali, Reina buru-buru meletakkan bokongnya ke atas kursi di depan meja Ivander. Namun, kali ini tangan Reina tak lupa menarik kursinya lebih mepet dengan meja di depannya. Reina tak mau peristiwa minggu lalu terulang hari ini.

Merasa bersalah, Reina tak berani menegakkan kepalanya. Kardus cake warna orange di pangkuan Reina menatap memohon padanya.

Oh Tuhan, Reina masih punya tugas berat lainnya. Reina tidak tahu bagaimana caranya ia akan memberikan kardus orange ini kepada Ivander?

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang