[ Part 10 ]

9.5K 1K 32
                                    

"Kita makan di mana?" Ivander kembali bersuara setelah mereka sudah di dalam mobil SUV brown milik Ivander. Reina mengedikkan bahu sesaat.

"Terserah. Niatku cuma mau bicara doang kok."

"Jadi terserah aku nih?" Ivander melirik Reina sekilas. Reina membungkam sambil melengos. Ivander membawa mobilnya mengarah ke kawasan Pasar Minggu, ke sebuah rooftop cafe.

Alunan chill out langsung membelai romantis menyambut mereka di pintu masuk. Kursi tinggi dengan meja yang berukuran tidak sampai satu lengan yang menjadi pilihan Ivander, membuat Reina berbisik protes begitu pantatnya merapat di kursi.

"Aku di sini mau bicara masalah penting bukan mau pacaran!" Sembur Reina lirih. Bola matanya melotot kesal.

"Loh, katamu terserah aku." Ivander membalas tanpa mengalihkan matanya dari buku menu di tangannya. "Lagipula, memangnya kita sudah resmi pacaran?"

Ivander mengerling geli ke arah Reina, lantas menyerahkan pesanannya kepada mas-mas berseragam yang berdiri di dekat meja mereka.

Reina mendengus, enggan menanggapi.

Sembari menunggu pesanan tiba, Reina mengatur duduknya. Posisi mereka memang tak menguntungkan buat Reina, tetapi Reina bertekad melakukan negosiasi yang sudah ia siapkan di kepalanya.

Reina berusaha mengendurkan kakinya menjauh, ia risih saja harus beradu kaki dengan kaki Ivander.

Sementara Ivander bersandar tenang di kursinya. Iris matanya intens dan tajam memperhatikan Reina.

Reina mati-matian berusaha menafikan tatapan mata Ivander ketika ia mulai membuka mulutnya.

"Aku sudah bisa bicara?" Reina memulai pembicaraan pentingnya. Ivander mengangguk.

"Silakan."

"Aku mau bicara jujur sama kamu, Van," Reina mengambil napas sebentar. Rasanya ia mendadak kegerahan merasakan tatapan mata Ivander sedari tadi merendam dirinya. Sial! Reina menunduk mengumpulkan konsentrasinya. "Soalnya aku bicara dengan orang tuaku, sudah mentok."

Reina menyetel muka serius lalu berdeham sebentar, pura-pura membersihkan tenggorokannya yang tak kenapa-kenapa.

"Terus terang saja, sebenarnya aku tidak suka keinginan papaku buat menjodohkan kita. Aku sudah coba bilang, tapi omonganku dianggap angin lalu oleh mereka."

Suara Reina berjeda sebentar karena mas-mas berseragam tadi datang membawakan pesanan mereka.

Reina menghela ringan, setidaknya separuh maksudnya sudah ia sampaikan dan reaksi Ivander biasa saja. Semoga lancar!

Setelah mengucapkan terima kasih dan mas-mas itu pergi, Reina melanjutkan kalimatnya.

"Jadi, aku meminta sedikit pengertian dari kamu. Hmm.. maksudku, kamu tidak usah lagi deh datang ke rumah buat ketemu sama aku. Mendingan perkenalan kemarin kita stop sampai di sini saja. Bagaimana? Kamu setuju, kan?"

Reina senang karena tidak ada sikap terkejut dari Ivander. Poker face-nya adem seperti sebelumnya. Reina berharap semoga idenya sejalan dengan pikiran Ivander!

"Alasan kamu apa?" Suara Ivander biasa saja.

Reina menunduk memutar-mutar gelas minuman di tangannya, sementara otak Reina juga melakukan hal sama, berputar mencari alasan yang tepat.

Saat ini Reina bersiap dengan sebuah alasan, ia tak peduli andai alasannya terdengar basi.

"Uumm, kayaknya kita tidak cocok, Van. Apa sih yang membuatmu mau melakukan ini? Hmm.. maksudku, memangnya kamu sekarang tidak punya pacar? Pasti punya dong! Buat apa kamu mengorbankan perasaan kamu demi hubungan ini."

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang