Mamanya menggiring tamu mereka memasuki rumah. Demi kesopanan, Reina berjalan paling belakang. Gadis itu mengira mamanya akan menempatkan tamu mereka di ruang depan, ternyata mamanya membawanya ke ruang keluarga. Dan sebenarnya Reina sedikit kurang nyaman dengan ide mamanya ini.
Kepala Reina tertunduk, karena Ivander berjalan di depan dirinya. Reina tidak ingin dituduh siapapun sedang memperhatikan pria ini dari belakang.
Ketika melewati foyer menuju ke ruang keluarga, tiba-tiba Ivander berhenti lalu berpaling ke belakang.
"Kolektor mainan, eh? Diecast?" Suara baritonnya mengalun lembut seperti tadi. Mungkin dimaksudkan hanya untuk telinga Reina saja, tetapi tetap saja membuat Reina mendongak kaget.
Reina bengong sejenak menemukan iris mata Ivander sedang menatapnya, ada geli yang bersorot di kedua bola mata Ivander. Sialan.
Dua buah lemari kaca besar di depan mereka memang terlihat ganjil dan lucu mengingat tidak ada bocah laki-laki di rumah ini. Isi lemari ini jelas-jelas tidak mungkin dimiliki oleh papanya atau mamanya apalagi Bi Mince, pembantu mereka. Ratusan mainan diecast mobil, bus, truk, konstruksi, kendaraan umum, motor, sepeda, pesawat, kapal, bangunan.. berbaris apik di sana.
"Iya. Semua milikku. Kenapa?" Reina mengangkat sedikit dagunya seolah menantang untuk mendengar komentar Ivander selanjutnya. Sikap Reina memang layaknya bocah posesif, karena pada kenyataannya, koleksi diecast adalah hobi fanatiknya selain hiking.
Ivander hanya tertawa kecil. Menggeleng samar lalu berlalu meninggalkan Reina bersama angin yang ditinggalkannya.
Reina gondok sendiri. Kalau bukan demi kesopanan, rasanya Reina ingin meraih lengan Ivander dan menanyakan maksud tertawa itu. Apakah Ivander mentertawakan dirinya?
Sialan. Sekalinya Ivander tertawa ditujukan pada Reina. Laki-laki ini ternyata lebih menyebalkan ketimbang penampilannya.
Di ruang keluarga, obrolan mereka didominasi oleh papanya dan Pak Jamar. Apalagi yang mereka perbincangkan kalau bukan kenangan masa awal-awal persahabatan yang terjalin diantara keduanya, hingga mereka masing-masing menjadi sukses seperti sekarang.
Reina duduk menahan jemu. Sebenarnya Reina lebih tertarik mendengar cerita bagaimana awal mula ide konyol ini muncul untuk menjodohkan dirinya dan Ivander. Sayangnya, topik itu tidak masuk dalam agenda obrolan mereka siang ini.
Giliran Pak Jamar, ia bercerita kalau tidak lama lagi ia akan pensiun, begitu juga dengan istrinya yang ternyata seorang guru matematika.
"Sebenarnya niat kami sebagai orang tua simple saja. Ingin melihat anak-anak bahagia, kalau sudah pensiun tinggal momong cucu yang lucu-lucu." Pak Jamar bercerita penuh semangat dan papanya menanggapi tak kalah semangatnya.
Reina menggeliat tak nyaman. Tak pernah menyangka kalau acara kenal-kenalan ini bisa berubah topik menjadi membicarakan cucu.
Seakan tak mau kalah, papanya langsung menimpali kalimat Pak Jamar.
"Reina juga sudah tidak sabar menunggu hari ini." Mendengar ucapan papanya, kontan Reina berjengit kaget.
Perasaan Reina, dia tak pernah mengatakan itu kepada papanya.
"Saya dan istri saya ini memang khawatir dengan Reina. Gayanya sudah seperti laki-laki. Tidak pernah mau dandan, apalagi pakai rok. Alergi dia. Mamanya sudah seringkali mengingatkan dan memberi nasihat, tetapi Reina tidak pernah mau mendengarkan."
Astaga! Apakah papanya tidak sadar sedang membuka aib putrinya sendiri?!
Sekujur wajah Reina langsung panas terbakar. Ia ingin menutup kedua telinganya atau menyurukkan kepalanya ke kolong meja di depannya saking malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...