Reina memiliki tempat nongkrong baru di kampus selain markas mapala yang sudah jadi langganan tetapnya selama ini, yaitu depan auditorium fakultas.
Banyak alasan mengapa lokasi depan auditorium fakultas ini kepopulerannya melebihi kantin.
Alasan pertama karena tempatnya yang strategis, apalagi buat sekadar cuci mata. Di sini terdapat ruang kosong dan luas yang jadi titik pertemuan antara anak tangga dari lantai atas dan pintu lift, alhasil banyak mahasiswi-mahasiswi cantik nan bening yang hendak kuliah atau kelar kuliah pasti bersliweran di tempat ini.
Alasan lainnya, karena tempat ini berhadapan langsung dengan taman fakultas yang rindang dan adem. Mahasiswa bisa melakukan apa saja di sini. Sekedar nongkrong dan menikmati wifi gratis, tidur-tiduran sambil melamun jorok, ataupun hanya bengong meratapi nasib karena tidak lulus-lulus.
Pokoknya kalau lagi ada pergantian jam mata kuliah, depan auditorium ini mendadak jadi ramai layaknya barak pengungsian.
Siang ini setelah bosan hunting di perpustakaan mencari referensi--dan sontekan materi--untuk skripsi, seperti biasa Reina nongkrong di lantai pojokan depan auditorium fakultas.
Reina bukan meratapi dosen pembimbing yang cakepnya amit-amit tetapi membikin frustasi, melainkan meriung bareng kedua sahabatnya, Davin dan Kevlar.
Beberapa botol minuman kemasan serta tiga bungkus besar snack gurih yang rasanya di lidah bagai mengemut micin satu kilo, tergeletak menemani mereka.
Kevlar duduk bersila, tenggelam dalam laptop yang ada di pangkuannya, sedangkan Reina dan Davin sibuk dengan ponsel di tangan masing-masing.
Meski begitu, mulut mereka tak kalah sibuk dengan lincahnya jari-jari. Mereka sedang mengobrolkan topik yang sedikit berbobot yaitu rencana setelah lulus kuliah.
"Bokap minta gue melanjutkan sekolah S2. Gue masih berpikir-pikir dahulu. Gue kepingin kerja sih, tetapi gue juga kepingin sekolah lagi." Davin menceritakan rencananya setelah lulus kuliah.
"Kamu cerdas, Beb. Mendingan kamu kuliah lagi. Mau melanjutkan di mana? Aku berencana mencari pekerjaan menunggu fixed kuliah S2 kamu saja deh. Biar kita bisa tetap satu kota." Kevlar memandang sayang pada Davin.
Tanpa mengalihkan matanya dari layar ponsel, Reina kontan mencibirkan bibir pada Kevlar.
"Lebay lo. Bilang saja kalau LDR, lo takut Davin disambar cowok lain." Reina menyeletuk tanpa ampun. Kevlar cengengesan sambil mengacak rambutnya dengan wajah merona.
"Kalau lo bagaimana, Rei?" Davin menatap ingin tahu ke arah Reina.
Reina terdiam. Ia berniat kerja, tetapi papanya pasti memaksa dirinya bekerja di kantornya. Bukannya sok, Reina tidak mau bekerja dengan fasilitas papanya.
Reina berpikir daripada ia bekerja di tempat papanya lebih baik dia sekolah lagi. Tetapi masalahnya, otak Reina kepingin istirahat. Aduh, rumit amat pilihan hidup Reina.
Reina belum berbicara dengan papanya tentang ini.
"Gue belum bicara dengan papa. Gue masih pusing memikirkan skripsi." Reina menegakkan kepala menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Halah. Paling-paling selesai kuliah lo dilamar Pak Dosen, Rei. Langsung distempel menjadi bininya." Seloroh Kevlar menimpali. Davin mengamini pacarnya.
"Sok tahu! Enggak usah mengarang, Jabrik!" Reina melotot galak.
"Kabar bimbingan lo bagaimana, Re? Lo belum cerita ke gue. Lancar enggak?" Davin kontan menggeser pantatnya mendekati Reina.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...