Elis berjalan mendekati Ivander yang duduk selonjoran di sofa. Wajah putranya tenggelam ke dalam layar laptop yang membentang di pangkuannya. Tangan Elis mengelus lembut lengan berisi itu sesaat.
"Kamu enggak main ke rumah Reina? Ini hari Sabtu."
Mendengar suara ibunya, Ivander menurunkan layar laptop di pangkuannya. Ditatapnya wajah ibunya dengan sabar.
"Enggak, Bu."
"Kenapa? Kamu capek sekali ya?" Bola mata sarat pengalaman itu menatap penuh perhatian seiring tubuhnya duduk di sebelah Ivander. Pria tersebut menggeleng.
"Enggak sih. Hanya lagi malas keluar saja." Ivander hendak membuka layar laptopnya kembali saat telinganya mendengar ibunya tiba-tiba tertawa lirih. Ivander berpaling dan memandang bertanya.
"Ibu tahu kenapa kamu malas. Sikap keras Reina yang jadi sebab, bukan?"
Ivander menarik dada bidangnya dengan napas panjang.
"Seperti yang pernah aku ceritakan, Reina memintaku untuk tidak datang mengunjungi ke rumahnya lagi." Suara Ivander mengeluh.
"Oh, jadi kamu menyerah sekarang?" Bu Jamar mengerling putranya sambil tersenyum.
Ivander tertawa kecil, kepalanya menggeleng.
"Masalahnya bukan menyerah, Bu. Kalau hubungan ini ingin berhasil, harus didukung kedua belah pihak. Aku tidak mau berjuang sendirian, sementara Reina jelas-jelas tidak menginginkannya."
"Siapa bilang kamu berjuang sendirian? Kami selalu ada di belakangmu, Ivander. Ibu, ayah, bahkan kedua orang tua Reina menginginkan hubungan kalian berhasil. Apapun kami lakukan untuk mendorong kalian berdua." Elis menepuk lengan Ivander beberapa kali seolah ingin menyalurkan kekuatan pada putranya.
"Aku mengerti, Bu. Tetapi kalau ternyata situasinya tidak seperti yang diharapkan, bagaimana?" Ivander memandang wajah sabar namun tegas di sebelahnya.
"Sewaktu ayahmu pertama kali bicara kalau ia ingin mengenalkanmu dengan putri Pak Gunawan, awalnya ibu kurang setuju. Ibu yakin kamu pasti menolak. Masa, zaman sudah modern begini kok masih ada orang tua mau menjodohkan anaknya. Lebih-lebih, ibu tidak mengenal Keluarga Pak Gunawan secara dekat. Pak Gunawan dan ayahmu memang dekat, tapi ibu belum pernah mengenal beliau lebih jauh. Makanya ibu agak ragu."
Ivander menelinga penuh perhatian.
"Kemudian Pak Gunawan dan istrinya mengajak ayah dan ibu untuk bertemu. Kami berempat mengobrol lama. Pak Gunawan menceritakan alasan mereka ingin mengenalkan Reina dengan kamu. Dari situ ibu jadi tahu kalau mereka adalah orang-orang baik. Sejak itu ibu setuju dengan usul ayahmu."
Suasana berjeda sesaat. Ivander memecah kebisuan.
"Pak Gunawan mungkin niatnya baik, tetapi belum tentu putrinya berpikiran sama. Mungkin kapan-kapan aku ingin bicara dengan Pak Gunawan untuk meminta pendapatnya tentang perkembangan hubunganku dengan Reina. Tetapi, persoalanku sekarang adalah ayah, Bu. Aku tidak tega mengecewakan ayah."
Elis tersenyum sejuk tanpa menyanggah ucapan Ivander. Ia hanya membelai dengan tatapannya yang selalu membuat tenteram hati Ivander.
"Ayahmu jangan kau jadikan beban, Nak. Ia pasti mengerti keberatanmu. Tentang Reina, kalau ibu boleh kasih pendapat, ibu suka padanya."
Ivander terjerembab dalam kejutan. Apa?
"Suka? Ibu yakin? Dengan gaya dan muka galaknya itu?" Iris hitam itu membulat penuh dengan bayangan wajah ibunya yang tampak tenang.
Elis tersenyum mafhum. Ivander justru tidak akan terkejut kalau ibunya bilang tidak suka dengan Reina. Tapi ini?
"Ibu malah suka gayanya. Meski terlihat cuek, canggung, suka merengut dan terkesan sembrono. Ia tidak pura-pura. Polos dan jujur. Apa adanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...