Sambil menunggu pengumuman jadwal dosen pembimbing keluar, Reina memilih menenggelamkan dirinya di perpustakaan daripada nongkrong bersama teman-temannya di depan auditorium fakultas. Pengumuman secara online baru akan diinformasikan setelah pukul 12 siang.
Sepatu converse merah itu mondar-mandir menjelajahi perpustakaan fakultas. Matanya berputar lincah menelusuri buku berseragam biru tua yang berdiri rapat di rak. Biru tua adalah warna paten sampul skripsi para mahasiswa Fakultas Ekonomi. Reina berhasil membawa 3 buah skripsi dari mahasiswa angkatan sebelumnya untuk ia baca sebentar di meja perpustakaan.
Membuka lembaran demi lembaran kertas skripsi yang dibawanya ke meja, tangan Reina gesit mencatat hal-hal yang ia perlukan.
Demi apapun, Reina bertekad sekuat baja untuk menyelesaikan skripsinya dalam satu semester. Sampai-sampai ia mengancam teman-teman mapalanya kalau masih berani menggoda imannya dengan mengajak hiking.
"Awas ya kalau kalian coba-coba mengggoda iman gue selama semester ini! Gue mau konsen skripsi dulu." Gadis itu sudah memberi ultimatum teman-temannya di markas mapala waktu terakhir berkumpul bersama mereka. Mereka kontan tertawa mengejek.
"Berani taruhan, sebulan lagi lo pasti sudah gatal kepingin main bersama kita!"
Reina mencebik jengkel. Lihat saja. Dia pasti bisa!
Ponsel di saku celana Reina bergetar sesaat. Buru-buru jemarinya bergerak menarik ponselnya keluar.
Dari Davin. Pengumuman dosen pembimbing sudah keluar. Reina segera menggendong skripsi-skripsi tadi dan mengembalikannya di tempat tadi mereka berdiri. Kedua kaki Reina cepat-cepat berayun menuju ke tempat Davin menunggu di koridor dekat auditorium fakultas.
Menurut Reina, dosen pembimbing itu ibarat kocokan nasib.
Dirinya bernasib mujur kalau mendapat dosen pembimbing yang super baik, suka membantu dan tidak cerewet.
Tetapi kalau ia mendapat dosen pembimbing killer, cerewet.. plus perfeksionis! Tamat sudah riwayatnya!
Jantung Reina merenyut, perutnya melintir. Benaknya berharap-harap cemas. Mulutnya terus merapal doa. Semoga kemujuran ada di pihaknya.
-oOo-
Sekali lagi, bola mata Reina nanar menatap layar laptop 14 inci yang ada atas pangkuannya. Suara riuh mahasiswa serta cekikikan Davin dan Kevlar yang tadi duduk di lantai bersama Reina mendadak lenyap dari indra pendengaran gadis tersebut.
Jiwa Reina terpental jauh, melayang di ruang gelap dan kosong. Hening. Sunyi. Rasanya bumi hanya diisi oleh dirinya saja dan daftar pengumuman pembagian dosen pembimbing skripsi yang mengapung di layar monitor laptopnya.
Sekejap kemudian bola mata Reina berkejap-kejap panik. Kesadarannya sudah pulih. Ia pasti salah password!
Ya. Ya. Kadang-kadang dia melakukan kesalahan. Meski tak urung detak jantungnya perlahan mulai merambat naik kecepatannya.
Tergesa-gesa Reina menutup kembali situs fakultas. Sementara menunggu proses loading, tak sadar Reina menebah dada.
God. Degub jantung Reina makin keras bak genderang, getarannya seakan membuat jantungnya nyaris menggelinding dari tempatnya.
Angin siang yang berhembus sejuk di seputaran taman fakultas tidak cukup mendinginkan tubuh Reina yang tiba-tiba menjadi gerah tanpa sebab. Situs Fakultas Ekonomi mulai terbuka.
Tergagap-gagap Reina memasukkan password miliknya. Manik mata Reina kembali nyalang menyusuri daftar nama mahasiswa berikut dosen pembimbingnya yang berbaris rapi di layar laptopnya.
Namun sekali lagi Reina membeku saat membaca namanya di sana.
Reina Dhananjaya. Setelah kolom judul dan konsentrasi studi, kolom nama dosen pembimbing langsung meninju ulu hati.
Debuk! Ugh! Perutnya mendadak mulas.
Sial. Nama Ivander Mahasura bertengger manis di urutan dua sebagai dosen pembimbing Reina.
Jantung Reina benar-benar mencelos dari tempatnya. Ia merasakan permukaan kulit wajahnya menjadi dingin, mungkin sudah memucat.
Reina menoleh dan menatap horor ke arah Davin yang tengah bercengkerama dengan Kevlar.
Merasa ada yang memperhatikan, Davin menoleh ke arah Reina dan terkejut. Dipenuhi pertanyaan di wajahnya, Davin bersegera beranjak untuk mendekati sahabatnya.
"Kenapa sih lo? Kayak habis lihat hantu." Davin mencoba berkelakar.
Aneh, Reina tak menanggapi banyolan Davin seperti biasanya. Tangan Reina malah memutar layar laptopnya menghadap Davin.
Davin menyambut dengan ekspresi bingung sekaligus ingin tahu seperti biasa. Mata cantiknya turun ke arah monitor, lalu bergerak menyusuri tulisan yang ada di sana.
"Astagaa! Kamu benaran kualat lo, Rei!" Davin berujar spontan, Reina tak punya energi untuk menanggapi. Ia hanya mendengus.
"Gue mimpi apa sih semalam? Apes banget nasib gue." Desah Reina lemas. Ia hampir-hampir tak bisa bersuara saking shock.
"Semalam pasti lo bermimpi gigi lo copot." Davin menatap prihatin, Reina cemberut mendengarnya.
"Absurd lo, Dav!"
Melihat keanehan di wajah Reina dan Davin, Kevlar ikutan mendekat.
"Hey, ada apa dengan kalian? Kok muka kalian begitu amat."
Davin memberikan laptop Reina kepada pacarnya. Setelah memperhatikan sebentar, mulut Kevlar langsung membulat, sarat ejekan seperti biasa.
"Whoa! Lo kurang beramal sih, Rei. Terutama ke gue." Cetus Kevlar menyebalkan.
"Sialan lo!" Bibir Reina menekuk masam, bersiap meninju lengan Kevlar dengan kepalan tangannya. Laki-laki itu tertawa sambil berkelit, lalu menepuk lengan Reina yang sudah terkulai lagi.
"Don't worry. See. At least, lo punya dosen pembimbing satu Pak Wikan Wiguno. Orangnya baik, sabar, sudah sepuh, pastinya enggak killer type. Dekan kita pula! Cowok lo enggak bakal berani macam-macam deh sama lo. Keputusan tetap ada di tangan pembimbing satu." Kevlar mencoba menenangkan Reina.
"Dia bukan cowok gue, Kevlar. Sudah dua kali gue mengingatkan lo!" Reina menyahut dingin. Kevlar membalasnya dengan cengiran menyebalkan.
"Mulai sekarang kayaknya lo harus mulai berbaik-baik ke dia, Re. Nasib dan masa depan skripsi lo sekarang ada di tangannya." Nasihat Davin. Mendengar kenyataan tersebut, kontan Reina menghela napas pendek.
Davin tidak tahu kalau masalah Reina dengan Ivander tidak semudah itu.
Manik mata Reina kembali tercenung menatap nama berhuruf cetak tebal yang mengambang di atas permukaan layar laptopnya. Reina bisa membayangkan seperti apa reaksi Ivander saat membaca pengumuman ini. Ivander pasti langsung tertawa puas melihatnya.
Tidak. Tidak. Tidak. Ivander tidak akan bisa mematahkan semangatnya begitu saja. Demi skripsinya, Reina harus berani menghadapi siapapun dan apapun tantangan yang akan ia hadapi.
Namun, bayangan ia akan konsultasi skripsi dengan Ivander, tetap saja membuat Reina tersenyum kecut. Sial. Sial. Sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...