Reina merangkul gulingnya kian erat. Ia tengah berbaring bermalas-malasan di atas ranjang dalam kamar indekosnya. Biasanya kalau mood Reina lagi buruk begini, ia lebih memilih nongkrong di markas mapala untuk mendengar guyonan tak jelas teman-temannya atau main ke tempat indekos Davin untuk merecoki sahabatnya yang sedang pacaran dengan Kevlar.
Perasaan Reina tidak karuan sekarang. Tubuhnya terlalu malas untuk diajak beraktivitas apapun.
Benak Reina terus mencaci kebodohannya sendiri bila menyangkut Alden. Jelas-jelas 4 tahun yang lalu, Reina mati-matian memadamkan api cinta sekaligus sakit hati yang ia rasakan kepada sang gebetan abadi nan rupawan tersebut.
Sampai sekarang pun jejak sakitnya masih nyata. Mengapa kemarin-kemarin Reina malah membiarkan Alden memasuki wilayah hatinya lagi yang sudah ia kunci rapat-rapat selama ini?
Bagaimana nasibnya sekarang? Lagi-lagi mereka mentertawakan Reina.
Bibir Reina mendesah kesal. Tubuhnya berputar dengan gemas. Kedua matanya kontan bertabrakan dengan onggokan kertas berisi revisi proposal di atas meja belajarnya.
Sial!
Segera saja Reina menarik guling di tangannya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia benci membayangkan nasib sial yang menimpanya.
Setelah hati Reina babak belur gara-gara Alden. Sekarang ditambah lagi, hari Jumat Reina harus menghadap untuk bimbingan dengan Ivander. Lengkap sudah penderitaannya!
Ya ampun. Nasib kok begini kejam padanya?
Malas-malasan, Reina beringsut dari atas kasur lantas menyeret kakinya mendekati meja belajar. Reina membereskan kertas revisi proposal yang sudah selesai ia kerjakan semalam berikut lembar pengesahan.
Pokoknya, lusa Ivander harus tanda tangan di lembar pengesahan dan dilarang nyinyir. Sehingga minggu depan Reina sudah bisa menghadap Pak Wikan dan berikutnya ia bisa segera menyusun bab empat.
Menggeram kesal gara-gara membayangkan Ivander, Reina cepat-cepat memasukkan berkas-berkas itu ke dalam map plastik sebelum menggiringnya ke dalam tas ransel coklat miliknya.
Selesai berurusan dengan kertas-kertas sialan ini, Reina segera melemparkan tubuhnya lagi ke atas kasur lalu menenggelamkan wajah kusutnya dalam bantal. Tepat saat sebuah ketukan keras atau tepatnya gedoran di depan pintu kamarnya. Selanjutnya terdengar suara cempreng dari arah luar.
"Rei! Ada yang mencari tuh!"
Sialan. Siapa yang siang-siang begini datang mencarinya!
Masih dalam gerak malas, Reina beringsut dari atas kasur. Ekor matanya sempat melirik jam yang menempel di dinding kamarnya. Pukul 12 siang lewat beberapa menit.
Awas saja kalau Davin atau Kevlar yang mencarinya, Reina tak segan untuk menjitak kepala mereka karena sudah berani mengganggu Reina pada pukul dua belas siang! Mulut Reina mendunal sendiri sembari celingukan mencari sandal kamar yang tak kunjung ia temukan.
Kesal usahanya tak membuahkan hasil, Reina memutuskan untuk keluar kamar dengan bertelanjang kaki dan tak berniat sedikitpun untuk mengganti piama bergambar Lightning McQuenn yang sudah tercetak lusuh di bagian depan tubuhnya.
Menginjak anak tangga teratas yang berjulai dari lantai dua ke ruang tamu, Reina sejenak menghentikan langkahnya yang senyap.
Kedua kelopak mata Reina menyipit, memindai makhluk yang tengah berdiri membelakanginya di ruang tamu. Rambut layer panjang warna coklat pirangnya bergoyang anggun di atas kepala.
Hhm, sepertinya perempuan ini masih sibuk dengan ponselnya.
Sembari menuruni anak tangga, bola mata Reina tak lepas menatap makhluk cantik di bawah sana. Mati-matian menggali memori otaknya yang tak seberapa besar kapasitasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...