[ Part 2 ]

13.1K 1.1K 23
                                    

Ivander menegakkan tubuhnya saat melihat kedua orang tuanya memasuki beranda belakang rumah. Ia membawa tubuhnya meninggalkan kolam ikan koi kesayangan Natasha, adik perempuan Ivander satu-satunya.

Bagi Ivander, tidak ada yang lebih penting dari urusan kedua orang tuanya hingga mereka memintanya untuk datang ke rumah ini. Sebenarnya Ivander sudah bisa meraba ke mana pembicaraan mereka nanti akan berarah --dan ia belum siap untuk itu, tetapi untuk menghormati keinginan mereka, ia meluangkan waktunya dan datang ke sini.

"Bagaimana urusan bisnismu, Nak? Lancar?" Jamar memulai percakapan saat mereka bertiga duduk di kursi kayu berukir yang ada di beranda belakang.

"Berkat doa kalian, Ayah. Klien memang belum terlalu banyak, tetapi progress kami bagus. Dalam beberapa minggu ke depan, kami ada jadwal presentasi di depan klien."

"Ibu ikut senang usahamu berkembang, Ivander." Elis mengelus lengan putranya lembut. Ivander menepuk punggung tangan di lengannya dan membalas dengan tatapan sayang pada ibunya.

Percakapan terhenti karena Mbak Kemi datang membawakan tiga gelas minuman untuk mereka bertiga.

"Terima kasih, Mbak Kemi. Kelihatannya segar banget." Ivander memperhatikan isi gelasnya.

"Sama-sama, Mas Ivander. Itu es jelly leci, Mas." Mbak Kemi tersenyum lebar dengan wajah memerah senang, jarang-jarang putra majikannya yang selalu tenang dan tak banyak bicara ini mengomentari suguhannya.

Lalu, buru-buru ia berlalu dari beranda sebelum Nyonya Elis mengerutkan dahi ke arahnya. Meski sebenarnya ia masih ingin menikmati wajah tampan putra majikannya yang jarang datang ke rumah orang tuanya.

"Kamu masih mengajar di Bandung, Ivander?" Jamar kembali melanjutkan obrolan mereka yang sempat tertunda karena suguhan Mbak Kemi.

"Masih, Ayah." Ivander menunduk, pura-pura mengaduk leci dalam gelasnya. Ayahnya makin mengarah pada inti permintaan mereka agar siang ini Ivander datang kemari.

Keheningan membentang sejenak di antara mereka.

"Lantas, apakah kamu sudah punya keputusan? Atau, kamu sudah coba menegur dan berkenalan dengannya.., mungkin?" Suara Jamar terdengar hati-hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin putra sulungnya jadi tak nyaman dan merasa didesak.

Ivander bergeming sebelum menggeleng tegas.

Sejak kepulangannya ke tanah air dua tahun yang lalu, permintaan ayahnya satu ini seolah menjadi beban tersendiri bagi dirinya. Ayahnya ingin mengenalkannya dengan putri tunggal temannya, sementara dirinya belum ada niat untuk menjalin kembali hubungan dengan siapapun.

Entah apa yang terjadi di antara dua sahabat lama tersebut hingga tercetus ide yang menurut Ivander konyol dan absurd.

"Belum, Ayah. Beri aku waktu. Aku belum membuat keputusan apapun." Ivander meletakkan gelasnya kembali ke atas meja dan memandang ayahnya dengan mimik serius.

"Ayah mengerti, Ivander." Jamar mengangguk, meski ada satu hal yang ingin ia usulkan ke putranya. Tetapi, ia ragu dan masih menyimpan kalimat itu di lidahnya.

"Maafkan aku, Ayah. Aku tahu apa yang ingin ayah katakan padaku, sudah satu tahun yang lalu sejak pertama kali ayah meminta padaku dan hingga sekarang masih jalan di tempat." Ivander menyisir rambut dengan tangannya. Ia merasa kesulitan memenuhi permintaan ayahnya kali ini. "Apakah.. dia sudah tahu rencana ini?"

"Maksudmu Reina, Ivander?" Jamar memandang Ivander dengan sorot ingin tahu. Ivander mengangguk. "Belum."

Ivander sudah menduganya. Tidak mungkin gadis itu merasa begitu bebas kalau tahu sepasang mata seseorang mengamatinya selama ini. Demi untuk lebih mengenal siapa dia sebenarnya, Ivander sampai merelakan waktu dua hari berharganya di setiap minggunya dalam satu tahun ini.

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang