[ Part 32 ]

8.4K 921 48
                                    

Langkah Reina berayun terbirit-birit menuju lift yang ada di sudut basement tempat parkir. Ia sudah tidak sabar. Perut Reina sudah melilit sejak masuk Jakarta, jantungnya berdebam memenuhi rongga dada sejak mendengar kabar dari mamanya.

Saking tak sabarnya, ingin rasanya meloncat dan langsung menclok di lantai 5 tempat papanya dirawat.

Davin yang berjalan di sebelah Reina membimbing tangannya erat. Reina tahu, sahabatnya ini ingin membantu menguatkan hatinya. Meski gelendot tangan Davin malah membuat kaki Reina jadi berjalan lambat. Tetapi Reina tidak protes, demi kedua sahabatnya yang sudah rela mengantarkan dirinya hingga tiba di Jakarta.

Reina mengayunkan kakinya makin cepat saat pintu lift terbuka di lantai 5. Bola matanya nyalang menatap setiap daun pintu yang ia lewati untuk mencari nomor 507.

Tangan Reina tergesa mendorong pintu kamar perawatan ketika bola matanya menumbuk nomor yang ia cari. Ia mendapati seorang dokter dan suster berdiri di samping tempat tidur. Sepertinya mereka tengah memeriksa papanya.

Mamanya yang tengah berdiri di ujung pembaringan, kontan menoleh melihat beberapa bayangan memasuki kamar. Wajah mamanya tersenyum menyambut Reina lantas kedua tangan mamanya memeluk tubuhnya erat.

"Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Papa sudah baik kok." Mamanya berbisik sebelum Reina sempat mengeluarkan suara.

Reina mengangguk meski hatinya belum sepenuhnya tenang. Ia bergerak menghampiri pembaringan papanya setelah dokter dan suster selesai memeriksa. Reina memeluk papanya. Suaranya sarat kekhawatiran.

"Papa kenapa sih? Aku takut banget, Papa." Reina menatap cemas ke arah papanya yang tersenyum sayang padanya. Tangan papanya menepuk kecil punggung tangan Reina untuk menenangkan.

"Tadi pagi mendadak papa merasa sedikit nyeri di dada. Papa takut ini serangan yang sama, makanya papa minta dibawa ke rumah sakit. Kata dokter, kondisi jantung papa baik. Tetapi papa tetap harus istirahat di rumah sakit, Ra." Suara papanya terdengar lemah.

"Aku lega mendengarnya, Papa. Waktu mama meneleponku tadi, aku langsung panik banget. Untung ada teman yang mau mengantarkanku ke sini." Reina melirik ke arah Davin dan Kevlar yang berdiri kikuk di ujung pembaringan.

"Papa, Mama, kenalkan ini Davin. Sahabatku. Terus ini Kevlar..mm.. sahabatku juga." Reina bingung, Kevlar mau diperkenalkan sebagai apa ya?

Davin dan Kevlar mendekati pembaringan papanya dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Papanya hanya menatap hangat, tapi mamanya langsung berkomentar tidak sabar.

"Nak Kevlar ini yang pernah diajak main ke rumah, kan? Tante masih ingat lho." Bola mata mamanya menatap Kevlar. Meskipun ditatap dengan cara ramah, tetap saja Kevlar merasa rikuh dipandang seperti itu. Rasanya masih melekat, betapa tidak enaknya sudah berbohong pada kedua orang tua Reina.

Davin menunduk geli. Untung di mobil tadi Reina sudah mengingatkan..

"Iya, Mama. Ini Kevlar yang pernah aku ajak ke rumah." Reina berusaha menyelamatkan Kevlar dari salah tingkahnya. Pasti karena rambut jabrik miliknya yang bikin mamanya tak pernah lupa dengan Kevlar, tebak Reina.

"Kami memang berteman, Mama. Sering main bersama. Tadi pagi waktu mama menelpon, aku juga sedang bersama mereka. Makanya mereka mau mengantarku sampai ke sini."

"Tadi ke sini naik apa, Na?" Mamanya memandang Reina.

"Mobilku, Mama."

"Oh? Nanti mereka pulangnya bagaimana?" Mamanya memandang mereka bertiga.

"Gampang, Tante. Kami bisa pulang naik apa saja kok." Davin menjawab sopan. Mamanya manggut-manggut mengerti.

"Terima kasih ya sudah mengantarkan Reina sampai ke sini. Jadi merepotkan kalian." Mamanya berkedip terharu. Davin dan Kevlar sama-sama mengangguk sopan.

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang