[ Part 3 ]

18.6K 1.4K 19
                                    


Angin kering kota Jakarta seketika menyambut Reina saat ia menjejakkan kakinya di halaman rumah orang tuanya. Army di pergelangan tangannya sudah menunjuk di angka empat, tetapi matahari masih tampak giat mengguyurkan sinarnya.

Sabtu yang kejam. Mulut Reina mengeluh sesaat, udara panas membuat kulitnya jadi terasa lengket.

Reina sengaja menghentikan ayunan kakinya di beranda depan ketika melihat Bi Mince tengah sibuk menyirami tanaman bunga kesayangan mamanya.

Cuping hidung Reina kembang kempis menikmati hembusan kesegaran rumput basah serta bau tanah khas sehabis tersiram air keran. Ia menyukai nuansa dan aromanya, seolah mengundang tubuhnya untuk melewati senja di beranda depan rumah.

"Mama ada di rumah, Bi?" Tanpa ragu-ragu Reina melipat lutut dan mendaratkan bokongnya dengan nyaman di lantai beranda.

"Ada, Non. Bapak juga ada," Bi Mince menjawab sembari senyum-senyum. Wanita ini sudah hapal benar dengan perangai putri tunggal majikannya yang suka serampangan.

Benar saja dugaan Bi Mince. Tak peduli dengan keadaan sekelilinginya, berbantalkan tas ransel coklat miliknya, Reina merebahkan dirinya di lantai beranda.

Menyetel dalam volume tinggi, sepasang earphone menyumbat di kedua lubang telinga Reina. Lagu Dynamite dari ponsel langsung meledak keras di sana.

Memejamkan kedua kelopak matanya, kedua lengan Reina terentang di samping telinga. Ia sengaja melipat satu tungkai kaki kirinya ke atas lutut kaki kanannya, tak peduli sepasang converse merah masih melekat di sana. Pergelangan kaki kirinya ikut berputar-putar riang mengikuti irama lagunya.

Reina tak menyadari ada seseorang tengah berdiri menjulang di samping tubuhnya, berkacak pinggang dengan wajah memerah menahan kesal.

"Aaoow! Sakiit!" Lengkingan terkejut seketika keluar dari mulut Reina saat ia merasakan sebuah puntiran menyakitkan mendarat di paha kirinya. Terhenyak membuka mata, kedua tangan Reina kontan menarik earphone yang menyumbat di kedua lubang telinganya.

Bola mata Reina langsung menemukan sosok tinggi langsing, berpakaian modis dan berwajah cantik bak artis tetapi kedua matanya bersorot menyeramkan.

Mamanya, siapa lagi.

"Reinaa! Mau apa kamu tiduran di teras?!" Degar suara Jelita mirip suara petir di saat hujan.

Reina buru-buru beringsut. Dalam posisi duduk, tangan kiri Reina mengelus bekas cubitan di pahanya. Lantas ia menengadah memandang mamanya tanpa berdosa.

"Aku enggak tidur, Mama. Jangan mencubit dong, Mam. Cubitan mama sakit."

Jelita menggembungkan dada menahan kesal melihat sikap Reina.

"Astaga, Reina. Kamu sudah gede. Masa tiduran di teras kayak bocah begini?!" Bola mata Jelita makin melebar. Ia benar-benar geregetan pada putrinya.

"Tiduran di teras rumah sendiri masa enggak boleh, Mam?" Reina masih saja menengadah ke arah mamanya. Jemarinya terbenam pada rambut cepaknya dan menggaruk dengan gerak malas mengundang bola mata Jelita makin mendelik.

"Sudah, mandi sana! Papamu mau mengajak kita makan di luar."

"Wah, merayakan apa, Mam? Pasti papa habis dapat bonus gede ya?" Mata Reina membelalak surprise.

"Pokoknya kamu cepatan mandi! Kasihan papamu sedari tadi menanyakan kamu terus, eh kamu malah tiduran di sini!" Jelita membawa tubuhnya masuk ke rumah. Ogah-ogahan Reina memaksa tubuhnya berdiri dan mengekor mamanya ke dalam rumah.

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang