Reina mengeret oksigen sebanyak-banyaknya, lantas melepaskannya dengan pelan. Gadis itu merasa lega, revisi proposal skripsinya sudah selesai. Sudah tidak ada satu celah pun bagi Ivander untuk menolak proposalnya kali ini.
Target Reina, minggu depan dia sudah harus mengajukan proposal ini ke pembimbing satu, Pak Wikan.
Kalau sampai proposalnya ditolak lagi, Reina yakin bukan dirinya yang goblok! Tetapi, ada yang salah dengan Ivander.
Gara-gara kejadian hari Minggu, hubungan Reina dengan Ivander memburuk. Padahal baru satu hari sebelumnya, Reina berjanji hendak menurut dengan Ivander.
Tetapi sekarang, jangankan menurut, selama dendam Reina belum terbayarkan amarahnya tidak akan bakal padam.
Apalagi kemarin Ivander mengirim pesan untuk Reina yang isinya benar-benar langsung menyundut sumbu kepalanya.
[Dosen nyinyir]
Jumat kita harus bicara, aku tunggu.
Bersikaplah dewasa, Na.
Sialan! Sejak kejadian itu, Reina memang dengan sengaja membiarkan semua pesan yang masuk dari Ivander. Reina hanya membacanya, malas untuk membalas. Untuk apa? Isinya hampir sama. Lagipula, Reina masih terlalu marah dengan Ivander.
Namun, Reina tidak terima bila dibilang Ivander seperti bocah manja tukang merajuk hanya gara-gara dirinya tidak membalas pesan Ivander dan mengangkat panggilannya.
Lihat saja, hari Jumat Reina pasti datang. Perkara remeh-cemeh seperti begini, tidak akan berpengaruh apa-apa pada dirinya.
Pokoknya, niat Reina sudah bulat. Begitu skripsinya selesai, tak perlu menunggu hingga detik berikutnya, Reina bakal mengeliminasi nama Ivander dari hidupnya!
Getar ponsel di atas meja menginterupsi pikiran Reina. Bola matanya melirik sekilas, memastikan kalau panggilan ponselnya kali ini bukan dari Ivander lagi.
Membaca sesaat nama yang mengambang pada layar ponselnya, antusiasme Reina seketika melonjak hingga berpuluh kali lipat.
Alden!
Manik mata Reina terbeliak tak percaya. Tergesa-gesa, tangan Reina meraih ponsel dan membawanya ke telinga.
"Halo?" Suara Reina terengah saking bersemangat.
"Halo juga, Rei? Ini gue, Alden." Terdengar suara pria dari seberang.
"Oh, hai Alden!" Benak Reina seketika berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Sorry, Rei. Apa gue menganggu? Suaramu terdengar megap-megap, seperti habis lari." Suara Alden terdengar khawatir. Reina tertawa kecil menanggapi, merasa tersanjung karena Alden sudah mengkhawatirkannya.
"Ah, tidak apa-apa kok, Al. Ada apa ya?" Reina menjawab buru-buru. Kalau Alden yang mengganggu, Reina ikhlas banget. Semalaman diganggu juga rela.
Tanpa sadar, terbit cengiran senang di mulut Reina.
"Mm, gue mau memberi kabar kalau gue jadi main ke Bandung, Rei. Tetapi, gue khawatir mengganggu kesibukan lo. Lo masih sibuk menyusun skripsi, kan?" Suara Alden terdengar ragu-ragu.
"Tidak. Tidak kok, Al. Tenang saja. Saat ini gue tidak sibuk-sibuk amat, tetapi tidak menganggur juga sih. Biasa saja." Reina menyahut cepat-cepat dengan suara sok rileks. "Kapan rencana lo ke sini, Al?"
Reina makin merapatkan ponsel ke telinganya. Ia khawatir suara Alden bakal kalah kencang dengan debuk jantungnya sendiri.
"Hm, kalau lusa bagaimana? Lo ada waktu pada hari itu?" Suara Alden masih terdengar ragu.
"Kamis ya? Bisa. Bisa banget! Nanti gue menjemput lo di stasiun." Kali ini Reina tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Thanks, Rei. Menurut jadwal, kereta gue tiba di Stasiun Bandung jam 10 pagi." Alden terdiam sesaat, seperti menyadari sesuatu. "Eh, lo sekarang sedang mengerjakan apa? Sibuk menulis skripsi ya? Jangan-jangan dari tadi sebenarnya gue sudah mengganggu lo, Rei."
"Tenang, Al. Kebetulan gue sedang istirahat. Lagi bengong mencari inspirasi." Sekalian membayangkan wajah Alden yang ada seberang sana! Reina meringis dengan pemikirannya sendiri.
Alden tertawa kecil. Mendengar suara tawa Alden langsung menghangatkan hati Reina.
"Okay. Kalau begitu sampai bertemu lusa, Rei." Alden hendak mengakhiri percakapan mereka.
"Baiklah. Gue akan menjemput lo jam 10 pagi, Al." Balas Reina diam-diam melenguh kecewa. Rasanya masih belum mendengar suara empuk milik Alden.
"Nanti kita bisa melanjutkan obrolan lagi pas bertemu langsung, Rei." Sambung Alden seolah bisa mendengar kekecewaaan Reina. Kontan Reina membalas dengan tertawa. Alden tahu banget kesukaannya!
"See you, Reina!"
"See you too, Alden."
Begitu layar ponsel Reina tertutup, gadis itu langsung menghambur ke atas kasur. Menenggelamkan seringai senangnya ke dalam bantal.
Reina tak peduli niat Alden sebenarnya dengan mengunjunginya di Bandung. Saat ini yang terpenting bagi Reina adalah dia bahagia sekali malam ini. Sangat bahagia. Itu saja.
Reina memutar tubuh, telentang dengan jari-jari tangan menyelip di bawah kepala. Bibir Reina menyeringai tak ada habis-habisnya. Merupa wajah seorang Alden di pagu kamar sambil memikirkan tempat yang pas untuk menghabiskan waktu bersama Alden seharian nanti.
Dimana ya kira-kira tempat yang romantis, indah sekaligus tak terlupakan? Memikirkan tempat-tempat romantis di Bandung dan sekitarnya membuat kulit wajah Reina jadi terasa hangat.
Tahu-tahu sebuah ide super brilian melintas begitu saja di kepala Reina. Bukankah hari Kamis adalah jadwal Pak Dosen Nyinyir mengajar?
Dengan bibir menyeringai makin senang, tangan Reina segera meraih ponsel di atas nakas.
"Ada apa, Rei?" Sahut suara dari seberang. Suara Davin, sahabatnya.
"Lo hari Kamis ke kampus jam 10 pagi, Dav. Kita bertemu di depan auditorium seperti biasa. Ajak Kevlar juga."
"Memangnya ada apa sih, Re?" Balas Davin di seberang dengan suara tak sabar.
"Pokoknya kalian datang saja. Kita bakal bersenang-senang. Gue yang traktir kalian berdua!"
"Whoa! Ada apa sih? Jawab dulu dong, Rei! Jangan membuat gue mati penasaran dong!" Suara Davin menahan dongkol dengan gaya Reina yang sok-sok main rahasia.
"Jangan mati dong, Davin. Kasihan Kevlar. Cewek cakep yang mau dengan Kevlar cuma lo doang!"
Dua sahabat kontan tergelak bersama-sama.
"Sialan lo, Rei. Gue bilang ke Kevlar nih!"
"Bilang saja, gue tidak takut."
"Kemarin lo marah-marah, hari ini lo happy banget. Gue benar-benar curiga nih! Lo pasti merencanakan sesuatu yang luar bisa. Ada apa sih, Re? Ayolah." Suara Davin memancing.
Reina tertawa geli. Senang rasanya membiarkan Davin terbenam dalam penasaran.
"Pokoknya seru. Hari Kamis kalian berdua bakal tahu. Jangan lupa!"
"Iya. Iya. Pesan dari lo langsung gue tempelkan di jidat nih!" Seru suara Davin dari seberang sambil menutup pembicaraan. Sahabatnya itu sewot bukan main karena tidak ada bocoran dari Reina.
Reina melemparkan kepalanya ke atas bantal, tangannya terentang lebar. Hari pembalasan akan segera tiba..
Tak sadar mulut Reina kembali menyeringai puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...