Reina mengekor di belakang kedua orang tuanya, berdiri menunggu di beranda rumah mereka. Saat sebuah MPV hitam menggeleser pelan memasuki halaman rumah, Reina sudah mulai gelisah dan berdiri kikuk di belakang mamanya. Kakinya menumpu bergantian menahan gugup.
Mereka bersiap menyambut Keluarga Jamar, tamu istimewa keluarga mereka siang hari ini.
Membayangkan apa yang akan ia hadapi nanti, rasanya Reina ingin lari dan sembunyi. Ia benar-benar tak siap untuk ini.
Sial. Ternyata menghadapi ini lebih canggung dari yang Reina bayangkan.
Sedari pagi mereka sudah heboh, terutama--tentu saj--mamanya Reina. Bahkan untuk urusan baju yang akan Reina pakai saja, mamanya benar-benar membuatnya sangat keki.
Pakai t-shirt tidak boleh, kaos berkerah tidak pantes, t-shirt ditutupi kemeja kotak-kotak dilarang.
"Lalu aku harus pakai baju apa, Mama Sayang? Ke mana-mana aku pakai baju seperti ini." Reina memandang mamanya dengan wajah lelah, jiwa dan raga.
"Kita mau kedatangan sahabat baik papa, Reina. Bukan mau jalan-jalan ke mall! Sopan sedikit dong. Mama pikir.. kamu bisa pakai gaun mama saja, banyak kok yang masih baru tapi sudah tidak muat dipakai mama."
"Idih, yang benar saja. Ogah ah! Mama enggak kasihan penampilanku nanti kayak tante-tante." Reina berdecit kaget.
"Eh, baju mama bermerk, Reina. Coba kamu pakai gaun mama yang warna orange, kamu pasti terlihat segar, mana mungkin terlihat seperti tante-tante." Jelita bersikeras. Reina menggeleng kuat-kuat.
"Pokoknya aku enggak mau pakai gaun mama." Reina tetap mengotot.
Setelah melewati diskusi yang menguras mental, akhirnya mereka menemukan jalan tengah. Reina mengenakan kemeja kotak-kotak yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana jeans hitam. Standar bajunya kalau Reina pergi kuliah, tetapi ia tak berani protes pada mamanya.
Urusan baju saja sudah cukup bikin Reina sakit kepala, belum lagi urusan berikutnya. Parfum.
"Aku enggak punya parfum, Mama. Lagipula, aku nggak bau kok, buat apa aku pakai parfum?" Kilah Reina. Namun, Reina langsung terdiam melihat mamanya sudah menggembungkan dadanya. Tanda-tanda mau marah.
"Reina, kamu keterlaluan amat sih. Sana pakai punya mama! Kalau baumu wangi, orang-orang senang berada di dekatmu daripada kamu enggak bau sama sekali!" Ucapan Jelita sudah menyembur gemas pada putrinya.
"Iya, Mama. Iya!" Kontan Reina terbirit-birit ke kamar mamanya untuk meminjam parfumnya.
Puft! Repot amat sih seperti mau kedatangan tamu presiden saja! Lagi-lagi Reina hanya berani menggerutu dalam hati.
-oOo-
Ivander sengaja menginjak pedal gas tidak terlalu dalam sehingga mobilnya melaju dengan kecepatan sedang, karena kedua orang tuanya ada dalam mobil bersamanya. Mata Ivander yang tajam memperhatikan hiruk-pikuk lalu lintas Jakarta yang lumayan padat meski hari ini adalah hari Sabtu. Telinganya menegak mendengarkan instruksi ayahnya yang duduk di sebelah dirinya membaca GPS.
Sementara ibunya duduk manis memperhatikan dari kursi belakang.
"Yak.. kanan.. lurus.. yak.. perempatan kiri..."
Tangan Ivander bergerak lincah mengikuti arahan suara ayahnya. Ivander menduga tidak akan ada yang mengejutkan dari kunjungan mereka siang ini. Mungkin kejutannya hanya pada reaksi Reina nanti saat bertemu dengannya untuk pertama kali. Melihat polah gadis itu selama ia di kampus, Ivander tak bisa mengira-ngira seperti apa dia nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...