Reina duduk mengantri bimbingan dalam diam. Bibirnya menguncup gelisah, ketegangan ini sampai memilin-milin isi perutnya.
Sejenak, bola mata Reina melirik cemburu seorang mahasiswa yang duduk mengantri di sebelahnya. Cowok ini sangat mempersiapkan bimbingan dengan baik. Lihat saja, kepalanya menunduk tekun membaca lembaran skripsinya.
Reina memperdalam tarikan napasnya. Sedangkan dirinya? Literature yang diminta Ivander saja tidak ketemu sampai sekarang!
Degub jantung Reina perlahan naik seiring berjalannya waktu, memompa darah dari bilik jantungnya lebih cepat. Skenario terburuk di dalam ruangan bimbingan membayangi batin Reina.
Duh! Reina kipas-kipas sendiri. Butiran keringat membajiri punggung tanpa diundang.
Sebenarnya, selain bimbingan, kali ini Reina merencanakan sebuah agenda tersendiri dengan Ivander. Ia harus mendiskusikan hal maha penting demi kelancaran nasib skripsinya juga demi menjaga impian papanya.
Semalaman Reina sudah menyiapkan daftar nota kesepakatan sebagai bentuk rekonsiliasi hubungan yang akan ia tawarkan kepada Ivander.
Terdengar sangat berat, memang seberat itulah masalah yang harus segera ia selesaikan dengan Ivander.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana memulai diskusi maha penting ini dengan Ivander? Revisi skripsinya saja tidak jelas, bagaimana kalau Ivander sudah marah terlebih dahulu sebelum Reina sempat membicarakan masalah ini?
Pikiran Reina makin kalut.
Mahasiswa di sebelah Reina berdiri saat seorang mahasiswa lain keluar dari pintu 312. Detak jantungnya makin tak karuan. Tanpa sadar, telapak tangan Reina mengelus tas ransel coklatnya perlahan. Tak dapat menahan diri lagi, tangan Reina membuka ritsleting dan melongok isinya.
Oh. Koleksi diecast kesayangan Reina..
Reina berbisik lirih, matanya berkaca-kaca sendiri.
Sambil menutup mata dan menguatkan hati, tangan Reina menutup kembali ritsleting tas ranselnya dan menunggu. Tidak sampai 15 menit, cowok sebelahnya tadi sudah keluar.
Astaga ini cowok! Luar biasa. Batin Reina berdecak kagum.
Tiba gilirannya, Reina berdiri lalu mendorong pintu 312. Telapak tangan Reina rasanya sudah kebas sejak tadi saking tegang.
"Siang, Pak." Suara Reina menyapa serak karena menahan gugup. Sial. Semoga Ivander tak memperhatikannya.
Saat ini, Ivander tengah menunduk menekuni laptop di depannya. Mendengar suara Reina, kontan menoleh dan menghentikan pekerjaannya.
Tanpa menyambut sapaan Reina, tangan Ivander segera menutup laptop lalu menjepitnya di antara kedua sikunya yang terlipat di atas meja. Ivander menangkupkan kedua telapak tangan, mengepal lantas menempelkannya di depan mulut.
Reina hanya bisa melihat bola mata Ivander mengekor dirinya berjalan salah tingkah menuju kursi.
Ya Tuhan. Reina komat-kamit merapal doa agar mentalnya berubah menjadi sekuat baja. Reina menaruh bokongnya di kursi dengan gelisah, tanpa berani menatap ke depan.
"Kamu sudah selesai revisinya?" Suara bariton itu akhirnya menyambut Reina lunak membuat yang disapa jadi tertegun sesaat. Tumben sekali Ivander ikhlas berlembut-lembut dengannya.
"Bab dua belum." Reina menggeleng pelan, masih menunduk sambil menggigit bibir bawah dengan pasrah. Ia sudah membayangkan sebentar lagi suara Ivander akan menyembur marah.
"Bawa sini proposalmu." Lembut dan bersahabat.
Whoa! Reina ternganga.
Tak percaya dengan daya tangkap telinganya sendiri, Reina mengangkat kepala sedikit lalu mengintip takut-takut ke arah dosen menyebalkan yang sudah dijodohkan dengannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
Fiction généraleTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...