[ Part 29 ]

13.2K 1.3K 107
                                    

"Natasha masih mengurung diri di dalam kamar." Lapor Elis dengan sorot mata terlihat khawatir saat hari Rabu sore itu menyambut kedatangan putranya ke rumah mereka. Melihat kedua mata ibunya yang bersorot sedih, Ivander merentangkan lengan dan melingkari tubuh ibunya dengan erat.

"Bertengkar dengan ayah gara-gara Damian lagi?" Mereka duduk bersebelahan di atas sofa ruang keluarga. Elis mengangguk, lantas menyeret napas dalam-dalam.

"Ayahmu dan Natasha sama saja. Sama-sama keras kepala. Ayahmu merasa sebagai orang tua suaranya harus didengarkan, sebaliknya Natasha merasa ayahmu adalah orang tua otoriter yang tak mau mendengarkan hak-hak anaknya. Ya sudah, susah mencari titik temunya."

"Sebenarnya apa yang terjadi sampai Natasha mengambek begitu?" Ivander memandang ibunya penuh perhatian.

Sebenarnya jadwal Ivander sangat sibuk hari ini. Tetapi, tadi siang ibunya menghubungi Ivander dan memintanya datang. Ia mengkhawatirkan kondisi Natasha yang merajuk sehabis bertengkar dengan ayahnya. Mendengar kesedihan suara ibunya, terpaksa sore ini Ivander menjadwalkan kembali pertemuannya agar bisa datang ke rumah orang tuanya.

"Seharian kemarin Natasha pergi dengan Damian. Adikmu pamit karena ada jadwal kuliah pagi, tetapi tidak pulang-pulang hingga ayahmu tiba di rumah. Natasha baru pulang sekitar pukul tujuh malam. Ayahmu langsung menginterogasi Natasha. Lalu.. kamu bisa menebak ending ceritanya. Mereka berakhir dengan pertengkaran." Bola mata ibunya memandang muram permukaan meja.

"Apa Natasha bercerita ke mana dia pergi?"

"Natasha belum sempat menceritakan semua, keburu bertengkar dengan ayah." Ibunya lagi-lagi menghela napas, lantas menatap Ivander. "Ibu minta tolong, bicaralah dengan Natasha. Nasihatilah adikmu, Ivander. Kamu sudah pernah bertemu Damian, bukan? Tentu kamu bisa menilainya sendiri. Apa yang ayahmu lakukan, semata-mata demi dirinya juga. Ibu pikir, sepertinya Natasha lebih mendengarkanmu daripada kepada ayahmu."

Ivander mengangguk. Sudah waktunya Natasha melihat bagaimana kelakuan Damian di belakang adiknya. Pemuda itu mengatakan mencintai adiknya, tetapi mengobralnya di luar sana. Ivander yakin, kelakuan Damian memang sebusuk apa yang ia lihat pada malam itu. Ia tidak salah menilai.

"Baik Bu. Aku akan mencoba bicara dengan Natasha." Ivander menepuk punggung tangan ibunya dengan lembut untuk menenangkan.

"Terima kasih, Ivander. Malam ini jangan pulang ke apartemenmu, Ivander. Menginaplah di sini, mungkin ayahmu ingin mengobrol denganmu. Ibu kasihan dengan ayahmu. Sejak bertengkar dengan Natasha semalam, tadi pagi ayahmu tampak sedikit tertekan."

Ivander bergeming sesaat, sebelum akhirnya membuka mulutnya.

"Baik, Bu. Tetapi, besok aku harus berangkat pagi-pagi ke Bandung. Aku ada jadwal mengajar pagi pukul sembilan. Nanti hari Sabtu aku datang lagi dan menginap di sini, jadi aku dan ayah bisa punya waktu di sepanjang hari Minggu, "

"Ibu sudah sangat senang, kamu masih bisa menyisihkan waktumu yang padat untuk datang dan mengobrol dengan ayahmu. Ibu yakin ayahmu juga pasti sangat senang bisa mengobrol denganmu."

"Terima kasih, Bu."

"Bagaimana denganmu sendiri, Ivander? Apa kamu sudah memberitahu Nak Reina kalau kemarin pada hari Minggu kita berkunjung ke rumah orang tuanya?"

"Sudah, Bu." Tetapi Reina belum membaca pesan Ivander hingga saat ini. Ivander berpaling untuk menyembunyikan wajah kusut dari ibunya. Sejak pertengkaran mereka pada hari Jumat itu, sebenarnya Ivander tidak kaget kalau Reina tidak ingin bertemu dengannya lagi. Betapa marahnya gadis itu saat terakhir meninggalkan ruang bimbingannya.

Justru Ivander malah terganggu dengan berita yang meluncur dari mulut Bu Gunawan saat pada hari Minggu yang lalu, dadakan ibunya mengajak Ivander mengunjungi Pak Gunawan untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang