[ Part 13 ]

11.5K 1.1K 22
                                    


"Katanya nyokap sudah enggak kasih izin hiking lagi, Re?" Tanya Kevlar saat mereka bertemu di posko mapala di kampus untuk persiapan rombongan ke Yogyakarta.

"Sudah dong." Reina menggembungkan dadanya dengan bangga.

"Pak Dosen kasih izin juga?" Seloroh Kevlar tiba-tiba. Mulutnya sengaja mendekat ke telinga Reina. Kontan muka Reina panas merona.

"Kok lo bisa tahu sih?! Pasti Davin nih biang embernya!" Sergah Reina geram seraya hendak mengacak-acak rambut di kepala Kevlar. Ia langsung berkelit dan tentu saja dengan tertawa senang.

"Sorry. Lo tahu sendiri, kan? Tidak ada dusta antara gue sama Davin." Kata Kevlar di sela-sela tawanya yang berderai panjang. Reina mendengus pendek.

"Awas ya kalau lo ember kemana-mana! Bogem gue sudah lama enggak makan orang." Reina memberikan kepalan tangan ke arah Kevlar. Pria berambut jabrik itu hanya melemparkan cengiran.

"Pertanyaan gue belum dijawab nih! Memang cowok lo sudah memberi izin?"

"Dia bukan cowok gue, Kevlar! Jawaban dari pertanyaan lo, gue enggak perlu izin dari orang yang sudah ke laut sono." Reina menjawab tak acuh.

Kevlar tergelak makin keras mendengar kalimat sahabat rambut cepaknya ini.


-oOo-


Tidak ada yang lebih mengasyikkan bagi Reina selain berpetualang bersama teman-teman mapalanya. Baru pukul empat tadi pagi, rombongan mereka yang berjumlah 10 orang tiba di stasiun Yogyakarta dan langsung berangkat ke Gunung Kidul. Mereka akan menginap di sana selama tiga malam, setelah hari ke empat baru mereka turun dan menginap di kota Yogyakarta.

Menurut rencana, hari ini mereka akan melakukan river tubing di Kali Oyo dan besok caving di beberapa gua eksotis di daerah ini. Satu di antaranya adalah Gua Jomblang yang terkenal dengan cahaya surga spektakulernya.

Whoa. Lima hari memanjakan adrenalin! Reina benar-benar sudah tak sabar ingin menikmati semua sensasinya.

Belum pukul sembilan pagi, Reina dan Kevlar sedang mengemasi ransel masing-masing karena sebentar lagi rombongan mereka akan berangkat dengan menggunakan sebuah mini bus elf.

Saat getar ponsel di saku celana Reina membuatnya terkejut. Bersegera tangannya menarik keluar benda pipih yang terus bergetar. Melirik sekilas angka yang mengapung di layar ponselnya, Reina merasa tidak mengenal nomornya.

Tangan Reina kembali membenamkan ponselnya yang masih merengek meminta perhatian kembali ke kantong celana panjangnya. Kevlar yang tengah berdiri memegang action-cam di sebelah Reina memperhatikan polah gadis itu.

"Ponsel lo masih bunyi tuh. Kok enggak di pick up sih?"

"Enggak ah. Malas. Nomor enggak gue kenal. Paling sales kartu kredit!" Reina menjawab sambil lalu. Kevlar terkekeh mendengarnya.

"Siapa tahu penting."

Reina mengedikkan bahu sekilas lalu memutar kaki hendak mengeloyor pergi. "Sudah, ah. Yuk, kita bergabung sama yang lain."

"Gue belum kelar. Sebentar lagi gue menyusul." Reina mengangguk dan berlalu meninggalkan Kevlar mengemasi barang-barangnya.


-oOo-


Malamnya, di halaman belakang rumah penduduk lokal yang disewakan untuk penginapan, Reina dan rombongannya duduk mengelilingi api unggun sambil menikmati kopi hitam serta makan roti bakar. Meski rotinya terasa sangit, tidak ada yang peduli. Genjrengan gitar yang mengiringi sebuah nyanyian bersuara pales justru semakin membuat hidup suasana.

Urusan skripsi dan rumah sudah terbang di bagian otak entah sebelah mana. Apalagi seorang pria bernama Ivander.

Di tengah keasyikannya menyesap kopi, tiba-tiba Reina merasakan ponsel di saku celananya bergetar. Ogah-ogahan Reina menariknya dari saku celana dan melihat siapa yang sudah menghubunginya.

Astaga!

Kedua kaki Reina berayun cepat menjauh dari keriuhan, sembari jari telunjuknya menggeser layar ponsel.

"Ya, Mama?"

"Reina! Ivander tadi sore datang dengan Bu Jamar, tetapi kamu tidak ada di rumah. Kamu sudah bilang Ivander belum sih kalau tidak pulang ke Jakarta?"

Waduh! Reina kelabakan sendiri. Sudah dibilang jangan datang ke rumah lagi, kenapa sekarang malah membawa ibunya segala! Pasti Ivander sengaja mengajak ibunya untuk senjata, Reina mengomel dalam hati. Tangannya menguyek-uyek rambutnya dengan keki.

"Wah, anu, Mama. Anu.. jadi.. waktu itu aku lupa. Maaf, Mama. Maaf sekali. Beneran aku lupa! Soalnya, waktu persiapannya mepet banget, terus aku ribet harus membeli ini-itu. Jadinya lupa deh mau menelepon Ivander." Reina mencoba berkelit sejauh yang ia bisa.

Terdengar mama menghela napas tidak sabar. Reina langsung berfirasat jelek.

"Kata Ivander, tadi pagi dia sudah mencoba menghubungi kamu, tetapi panggilannya tidak kamu angkat. Seharusnya, kamu bisa bilang kalau kamu lagi di Yogyakarta sekarang."

"Hah? Tadi pagi?" Otak Reina buru-buru melakukan scroll back kejadian hari ini. Perasaan tidak ada yang menelepon dirinya, hanya dari nomor sales kartu kredit yang tidak_____.

Astaga!

Jemari Reina langsung menjambak rambutnya sendiri. Menyesali betapa goblok dirinya.

"Mm.. anu, Mama. Di sini memang agak susah sinyal, kalau ada panggilan kadang masuk kadang tidak."

"Mama jadi tidak enak sama Ivander dan Bu Jamar. Mana mereka membawa dua cake besar dan enak-enak lagi." Suara mamanya makin mengulik rasa penyesalannya.

"Mm.. mungkin saja Ivander cuma mengantarkan Bu Jamar karena ingin bertemu mama." Reina mencoba memberi argumen.

"Tetapi, kasihan Ivander, Reina. Dia jadi tidak bertemu kamu." Mamanya kembali bersuara. Reina menggaruk kepalanya lagi. Mamanya memang kadang-kadang suka berlebihan.

"Yeilah, Mama. Santai saja. Ivander enggak bakal kenapa-kenapa kok enggak ketemu aku."

"Sudah. Sudah. Pusing mama kalau bicara sama kamu. Semua disepelekan." Mamanya menyahut dengan suara sewot. Reina mengerucutkan bibirnya, tetapi tak berani buka suara lagi. Takut mamanya makin bertambah murka. Bisa gawat dunia Reina. "Sekembalimu dari Yogyakarta, kamu pulang saja ke Jakarta."

Apa?!

"Loh, kok jadi begitu. Mama sudah memberiku izin, kok sekarang dicabut sih. Liburan semesterku bagaimana?" Reina nyaris menjerit karena protes. Bayangan indah liburan semester genapnya terancam gagal total.

"Syarat izin dari mama itu berlaku kalau kamu memberitahu Ivander. Kamu tidak melakukan permintaan mama, makanya izinmu mama cabut. Pokoknya minggu depan kamu harus pulang. Libur semesterannya di Jakarta saja. Kalau tidak, mama tidak akan izinkan kamu indekos lagi di Bandung!"

"Iih, Mama. Kalau libur semesterannya di Jakarta bisa merepotkan, skripsiku bagaimana dong?" Bibir Reina makin maju bersenti-senti mendengar ultimatum mama.

"Kata siapa merepotkan. Buku-bukumu bisa kamu bawa, kan? Skripsinya disusun di Jakarta." Mamanya membalas santai.

Tak berani membantah lagi, dengan bermanyun-manyun akhirnya sekembalinya dari Yogyakarta, Reina terpaksa pulang dan menghabiskan libur semesterannya di Jakarta. Harapan Reina cuma satu, semoga Ivander tidak nongol lagi di rumahnya.

Rupanya doa Reina terkabulkan. Ivander tidak pernah datang lagi ke rumah. Reina berpikir mungkin Ivander sudah kapok atau marah padanya. Baginya malah itu sebuah kemajuan.

Artinya, hubungannya dengan Ivander sudah selesai, dan hal itu sedikit banyak sudah membuat Reina terhibur.

[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang