Bibir Natasha mengguman senang, bola matanya ikut berbinar melihat gerombolan ikan koi berebutan pelet yang ada di tangannya. Ekor ikan-ikan peliharaannya bergerak-gerak riang membuat kecipak-kecipak kecil di atas permukaan air.
Saking asyiknya duduk di pingir kolam yang ada di halaman belakang rumah, Natasha sampai tidak menyadari kalau kakaknya sudah duduk di sebelahnya.
"Berapa ikan koi-mu, Nat?"
Natasha menoleh kaget, kemudian mulutnya langsung tertawa riang saat melihat arah datangnya suara.
"Ih, bikin kaget saja, Kak Ivan. Aku punya 12 koi. Semua aku pelihara sendiri loh. Ikan-ikan ini dahulu masih berbentuk bibit, sekarang sudah besar-besar dan gemuk. Aku hebat, kan?" Natasha mengerling Ivander dengan suara bangga.
"Adikku memang hebat." Ivander mengacak rambut adiknya dengan sayang, Natasha membalas dengan senyum lebar, hatinya langsung mengembang karena dipuji oleh kakaknya tercinta.
"Kamu jadi pergi, Nat?" Suara Jamar tahu-tahu mengoyak di antara mereka. Ivander berpaling dan menemukan ayahnya duduk di kursi teras dengan bola mata memandang tajam ke arah adiknya.
"Iya, Ayah. Tadi pagi aku sudah pamit pada Ayah, kan?" Natasha membalas seraya menengok sekilas ke arah ayahnya. Gadis itu kembali sibuk membersihkan sisa-sisa pelet dari tangannya.
Mendengar ayahnya menghela napas dengan berat, kontan Ivander membawa tubuhnya duduk di sebelah ayahnya. Ivander paham, ada sesuatu yang berat sedang menggelayuti batin ayahnya. Ia berharap ayahnya bercerita sesuatu kepadanya.
Natasha ikut bangkit dan mendekati mereka berdua.
"Aku mau mandi dulu. Sebentar lagi Damian datang." Natasha memberitahu tanpa ditanya. Ayahnya tidak menjawab, namun matanya memandang khawatir ke arah putrinya. Semua tak luput dari perhatian Ivander.
"Ada apa, Ayah?" Ivander akhirnya bertanya setelah Natasha berlalu ke dalam rumah. Ia mengakui kalau selama ini dirinya tidak terlalu memperhatikan perkembangan Natasha. Di mata Ivander, adiknya tersebut dalam keadaan baik dan Ivander percaya padanya. Sepertinya Natasha juga orang yang cukup bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Lantas, apa yang membuat hati ayahnya jadi kelabu seperti ini?
"Ayah sebenarnya tidak terlalu suka dengan Damian. Pacar adikmu." Jamar mulai menjelaskan dengan suara mengeluh pelan.
Ivander mengangguk dan menatap bertanya. Ayahnya balik memandang Ivander dengan risau.
"Kalau pacar adikmu itu datang, kadang-kadang ayah coba bertanya padanya tentang apa saja.. sekolahnya atau pekerjaannya. Tetapi jawabannya selalu berbeda-beda. Hari ini bilang masih kuliah, besok-besoknya bilang sudah kerja jadi dj di cafe. Mana yang benar ayah tidak tahu, Damian kalau ayah tanya tidak pernah jelas." Ayahnya bergeming dengan dahi berkerut, seolah tengah membayangkan saat kejadian ia bertanya kepada pacar Natasha. Setelahnya ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan bicaranya. "Ayah tidak keberatan adikmu pacaran asalkan pacarnya itu pemuda yang benar. Bertanggung jawab. Tetapi ayah melihat Damian tidak seperti itu. Mukanya saja kelihatan pemuda brengsek. Telinganya pakai anting cuma sebelah, tangannya beberapa bagian ditato. Bagaimana ayah tidak khawatir?"
"Maafkan aku, Ayah. Tetapi, penampilan luar bisa menipu. Mungkin penampilannya merupakan tuntutan lingkungan pekerjaan." Ivander belum pernah bertemu Damian, sehingga ia memilih jalan tengah tanpa menghakimi.
"Ayah tahu." Ayahnya menjawab dengan wajah murung.
"Ayah sudah coba bicara dengan Natasha?" Ivander memecah keheningan ayahnya dengan hati-hati. Ayahnya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] I Love (Hate) You, Pak Dosen!
General FictionTidak terima dijodohkan, Reina Dhananjaya, mahasiswi semester akhir yang bandel, berupaya keras agar perjodohannya dengan Ivander dibatalkan. Reina menganggap Ivander pasti bekerja sama dengan kedua orang tuanya untuk membatasi kebebasan hidupnya s...