Hidupku tidak ubahnya bagai sebuah atom. Tidak terlalu dipikirkan oleh orang-orang karena aku adalah bagian terkecil dari suatu komponen. Tidak ada yang menganggap diriku, karena yang mereka lihat adalah bentuk nyata dari susunan atom tersebut.
Aku tidak mengerti kenapa aku memilih atom menjadi konsep kehidupanku. Karena pada dasarnya selalu begitu. Menjadi tidak terlihat sudah biasa bagiku. Lebih tepatnya menjadi tidak terlihat, lalu tidak dianggap. Namun perlahan aku menyukainya, membuatku terkadang—atau sering—menjadi sosok yang apatis.
Kuliah jurusan sains dan teknologi membuatku nyaris mencukur rambut di kepalaku untuk menjadi seorang biksuni.
Susah? Sangat!
Aku membenci sains, sungguh! Ditambah lagi jika dipadukan dengan teknologinya. Aku bukan Albert Einstein! Otakku mungkin setara kapasitas Pitecanthropus erectus, spesies manusia purba kedua yang ada di salah satu negara di Asia Tenggara pada zamannya. Namun entah kenapa, nasib membawaku masuk ke jurusan mematikan itu. Meskipun tertatih, untungnya aku bisa menjalankan kuliahku dengan nilai pas-pasan. Dan kini, aku sudah semester lima, dimana nilai akademik dan praktikumnya dipertaruhkan lebih banyak dari sebelumnya. Puncak hidup dan matiku untuk nilai, ada di sini.
Ibuku pernah berkata padaku, jangan membenci sesuatu secara berlebihan, karena kau akan bertemu lagi dengan hal yang kau benci itu.
Well, aku sedikit mempercayai itu karena aku bertemu dengan sains lebih banyak dalam kehidupanku walau betapa aku sangat membencinya. Namun ada hal lain yang belum terbukti sampai sekarang.
"Sohyun! Menurutmu bagaimana desain ini?"
Aku menghampiri pria berwajah cantik itu di meja ujung sebelah. Menatap sebentar layar monitor yang ia tunjukkan padaku, lalu aku menggeleng pelan.
"Sisinya terlalu cekung. Kau bisa merusak estetika dan fungsionalnya nanti," jawabku.
"Ah, begitukah?" tanyanya kembali menatap layar monitor, mencoba memperhatikan apa yang aku ucapkan.
"Percayalah padanya. Ia mahasiswa sains," ujar pria berkaca mata menyahuti.
"Ya. Mahasiswa sains yang terdampar di dunia seni. Betapa tidak pentingnya ilmuku ini!" dengusku lalu kembali duduk ke kursi kerjaku sembari melirik pria itu terkekeh kecil.
"Hei, ilmumu masih sangat berguna. Seni dan sains terkadang berkesinambungan!" seru seorang wanita dengan pakaian elegan keluar dari ruangannya. Dengan tas merek ternama itu, kutebak ia akan menghadiri beberapa pertemuan lagi hari ini.
"Ya, terima kasih pujiannya, Nyonya Irene," ujarku.
"Just call me Irene, okay?! Sudah berapa kali aku bilang jangan memanggilku dengan sebutan yang membuatku sepuluh tahun lebih tua?!" seru gadis itu, sementara aku hanya tersenyum. Yah, dia berbeda tujuh tahun denganku.
"Lagipula kau bekerja di sini untuk membayar kuliahmu. Jadi kau harus bangga akan itu, Sohyun," ujar seorang gadis lain juga ikut mengomentari.
"Ya, ya. Terima kasih banyak," jawabku jengah lalu kembali bekerja. Mencari ide properti yang terkait dengan ilmu sains milikku.
Dan inilah hidupku. Seorang mahasiswa sains yang bekerja di bidang desain seni dan properti. Sudah setahun lamanya aku bekerja di sini. Tidak kompeten, itulah aku. Sekali lagi, nasib yang membawaku ke sini. Tuntutan ekonomi yang tinggi dengan syarat buku-buku tebal berhalaman 600—yang tidak kumengerti isinya—itu membuatku harus mencari kerja tambahan daripada mengandalkan uang saku dari ibuku yang dikirim setiap bulan. Untungnya gaji di sini lumayan, sebulan aku bisa membeli paling tidak satu buku—apa saja, dan membayar kebutuhan makanku untuk setengah bulan. Jika aku tidak membeli buku, uang itu bisa untuk biaya makan selama sebulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow & Fire ✔️
RomanceJika hidup memiliki banyak peluang yang bisa dilakukan, aku akan memilih peluang bertemu dengannya satu banding satu juta! Di mataku, dia adalah seorang parasit. Sosok dingin menyeramkan yang selalu ingin menang sendiri dan memanfaatkan orang lain...