Part 8 | Bos Over Hemat

125K 13.7K 816
                                    

Dalam sejarahnya, bos selalu selangkah lebih maju dalam mengatasi masalah dibandingkan bawahan.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










Jam pemanggangan pantat di atas kursi kerja sudah berakhir. Tidak ada lagi super power pak bos, karyawan tertindas, dan kekesalan tingkat dewa. Cukup untuk hari ini, lusa lagi disambungnya.

Ana tersenyum semringah. Besok tanggal merah. Deo tidak akan bisa merecoki harinya selama dua puluh empat jam ke depan. Ia bebas! Bebas!

“Mau pulang?” Tatapan Ana tertuju pada sumber suara. Dilihatnya si Bos super yang tengah menutup pintu ruang kerja. Punggung laki-laki itu tampak lesu, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Deo menyunggingkan senyum lemah. “Tessa, saya bertanya ke kamu.”

Ana tergagap. Eh?

“Iya, Pak. Kan memang sudah jam pulang.”

Jam pulang udah lewat kaleeee, Pak! Masa iya saya mau bikin tenda di sini?

“Kamu yakin?”

Deo menghela napas. Melihat Ana yang memasang raut waspada rasanya lucu. Kebanyakan dari sekretarisnya dulu malah menatapnya memuja. Rata-rata dari mereka memang keracunan fiksi bodoh tanpa riset yang dijual oleh para halusioner tingkat tinggi. Menganggap CEO adalah pekerjaan laki-laki idaman dengan wajah tampan mereka sebagai poin tambahan. Bullshit!

Deo membuang napas. Menjadi CEO itu tidak ada enaknya. Bagi yang gila kekuasaan, mungkin mereka enjoy saja. Namun bagi orang yang paham betul apa arti tanggung jawab, beda lagi. Usianya baru tiga puluh dua tahun, tetapi beban yang diembannya satu negara dengan jumlah warga lima ribu jiwa. Salah langkah sedikit saja, perusahaan bisa berada dalam bahaya. Meskipun kontrolnya tetap diawasi oleh dewan komisaris, tetap saja sewaktu-waktu ada beberapa hal yang luput dari mata tajam mereka.

Di sinilah Deo berperan. Mempertimbangkan masak-masak mengenai setiap konklusi yang akan diambilnya. Apakah akan menyejahterakan atau malah memundurkan?

“Yakin, Pak,” balas Ana ragu.

Fokus Deo kembali pada perempuan berambut sepunggung yang memasang ekspresi siaga. Ia menggeleng pelan. “Oke, silakan pulang. See ya, Tessa.”

Ana menahan diri untuk tidak menganga. Lah, ia kira Deo bertanya karena ingin menawarinya tumpangan pulang. Masa bertanya hanya untuk itu?

“Bapak enggak mau nganterin saya?”

Deo menatapnya lama. Sepersekian detik kemudian, bibirnya mengulas senyum sinis.

“Satu liter sama dengan sepuluh ribu tujuh ratus. Dua liter sama dengan dua puluh satu ribu empat ratus. Kalau saya mengantar kamu, nanti pengeluaran saya untuk bulan ini bertambah, Tessa,” jelasnya, alih-alih mengiyakan kemauan Ana.

The Devil Boss [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang