Part 20 | Kecut

103K 12.2K 1K
                                    

Kelemahan laki-laki terletak pada ego mereka yang setinggi puncak Jayawijaya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Acara piknik malam selesai tiga jam kemudian. Usai berdebat panjang lebar, mau tidak mau Ana harus mengalah dan membiarkan Deo mengantarnya sampai rumah. Deo bilang ini gratis, tapi tetap saja Ana takut kelepasan menyentuh si Bos. Utangnya sudah bengkak, tidak perlu ditambah lagi.

“Ini bukan utang kan, D?”

Laki-laki itu menggeleng. “Pertanyaan kedelapan. Kalau ada yang kesembilan, saya pastikan ini masuk ke dalam utang, Tessa.”

Mendumal pelan, Ana melangkah turun dari mobil diikuti Deo. Katanya, bosnya itu ingin melihat secara live sekretarisnya masuk ke balik gerbang rumah. Menghindari absen bolong dan kerugian perusahaan jika Ana kenapa-napa, katanya.

“Udah, sana pulang. Saya sudah tiba dengan selamat,” usir Ana tanpa mau repot-repot menawar-kan mampir. Ini sudah malam. Bisa disate Satria jika tahu bosnya yang mengantar.

“Tessa Ariananda....”

Duar!

Ana menelan ludah. Kan... apa dia bilang. Satria itu punya indera kedelapan yang bisa menebak jika ada yang menggumamkan namanya dalam hati.

“Eh, Bang Satria...”

Perlahan, ia menoleh. Wajah judes Satria yang berdiri di bawah bayangan pohon dekat garasi terlihat menyeramkan. Lebih-lebih dengan langkah penuh perhitungannya. Seram kuadrat.

“Baru pulang, ya?”

Ini bagusnya pura-pura pingsan atau langsung mati suri saja, sih? Ana menahan napas. Ya Tuhan, mengapa aura Satria tidak ada bedanya dengan cunil-cunil gaje yang suka melongok tiba-tiba di jendela?

Really? Ditelepon enggak diangkat, disms enggak dibalas, di-chat cuma centang satu. Sebenarnya lo kerja atau mau menghilang dari peradaban, Dek?” Lengan Satria bersedekap. Garis rahang yang disembunyikan bulu-bulu halus itu tampak mengetat seiring tatapannya berlabuh ke arah Deo. “Dia siapa?”

Ana menegang. Astaga! Ia lupa si hater kutil belum hengkang dari depan gerbang rumahnya.
Ana buru-buru menjelaskan, “Di-dia Deodoran—eh maksudnya bos Ana di kantor, Bang.”

Kali ini ia bisa merasakan hawa membunuh dari sisi lain bahunya. Tuhaaan... kubur Ana sekarang juga! Kubur! Mengapa mulutnya tidak bisa diajak kerja sama di situasi genting seperti ini?

The Devil Boss [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang