Part 16 | Bad(Boss) Mood

116K 12.2K 523
                                    

Satu hal selain pemangkasan bonus, hal lain yang wajib diperhatikan adalah mood harian bos!


***



***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












Penjadwalan ulang meeting telah rampung dilaksanakan. Ana mengusap wajahnya yang kusut lantas mengganti alas kakinya dengan sandal jepit. Rekor! Kekejaman dewa bos hari ini sukses membuat kebakaran jenggot para bawahan. Semua karyawan yang tadinya berleha-leha setelah menerima gaji awal bulan mendadak mengibarkan bendera lembur lovers. Kondisi ini dipastikan berlangsung selama seminggu ke depan mengingat hasil audit forensik belum kelihatan hilalnya.

Ia berjalan mengentakkan kaki menuju restoran di seberang jalan. Terlalu lama melihat monitor membuat pandangannya buram. Bisa gila Ana kalau tidak keluar mencari udara segar.

“Takdir, mengapa bosku berbeda?”

Ratapan Ana terbit. Adegan membagongkan di ruang kerja Deo memang menghasilkan keuntungan bagi Ana, tetapi tidak sepadan jatah tugas yang harus dilakoninya.

Ia memble. Ditawari uang pesangon, tidak perlu membuat surat pengunduran diri, lenggang kangkung tanpa mikir kelakuan ababil Deo... bisa-bisanya Ana menolak kesempatan emas tersebut. Menyesal memang datangnya belakangan.

“Simpanan bos besar ternyata suka hidangan mewah juga. Tidak mengerankan juga sih, secara dia pasti dibiayai Deo sampai ke titik yang memalukan.”

Sedang asyik-asyik menunggui pesanan take away dewa bos selesai diproses, Ana dikejutkan oleh kehadiran wewe gombel di sampingnya. Ia menoleh dan mendapati mantan Deo tengah mengulitinya dengan tatapan mencemooh.

“Oh, hai, Mbak Vivian. Mau makan?”

Enggak, Na. Mau ngepet di sini.

Ana refleks menabok mulutnya yang baru saja melakukan kebodohan. Orang pergi ke restoran ya jelas untuk makan. Masa begitu saja perlu ditanya?

Sesuai prediksi, Vivian melontarkan celaan. “Such a stupid question. Saya ragu kamu betulan sekretaris Deo atau...” Pandangannya berlabuh ke sandal jepit yang Ana kenakan. Raut wajahnya berubah jijik, “kamu mengobral tubuh kamu kepada para petinggi perusahaan supaya bisa menduduki posisi sekretaris? Tell me your secret, Tessa.”

Ana mematung. Wah....

“Saya cantik, berprestasi, sederajat dengan Deo, dan calon istri yang sempurna untuk dia. Tapi dengan mudahnya Deo menolak saya demi kamu. What do you think about that? Berapa harga kamu melacurkan diri pada Deo, Tessa?”

Napasnya tercekat. Apa tampang-tampang polos seperti Ana punya bakat jual diri? Yakin? Kata Satria, bakat utama Ana itu mengganjar mulut tak tahu diri.

The Devil Boss [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang