Malam ini seluruh peserta menginap di hotel tempat berlangsungnya acara cerdas cermat tingkat SMA. Rasa jenuh berputar di otakku Aku berniat mencari udara segar di taman hotel semoga saja dapat mengembalikan mood dan konsentrasi belajarku.
"Ta, aku keluar dulu ya, nyari angin bentar"
"Mau ditemenin ndak?"
"Ndak usah aku sendirian aja" jawabku sambil menutup pintu kamar.
Taman hotel ini memiliki penataan ruang yang sangat cantik, berbagai jenis tanaman bongsai dan pohon cemara di lilit dengan lampu hias warna warni. Bangku panjang di letakan di sela pohon dan ada ayunan berbentuk sangkar burung di dekat pohon palem yang menjulang tinggi. Puas berkeliling taman yang begitu asri pandanganku terarah pada seorang wanita paruh baya yang mendorong gerobak makanan di malam selarut ini. Melihat wanita itu masih berjuang menjajakan dagangannya mengingatkan Aku pada ibu di kampung yang harus menjadi tulang pungung keluarga setelah bapak meninggal. Dua bulan Aku tidak pulang ke kampung karena banyaknya tugas dan jam belajar tambahan yang harus aku ikuti menjelang UN bulan depan.
"Bu mienya satu ya" Aku menghampiri wanita paruh baya yang mendorong gerobak mie ayam , tampak masih banyak tersusun gulungan mie di etalase gerobak.
"Makan sini atau bungkus Mbak?" Tanya si Ibu sambil mengambil satu gulung mie dan memasukkannya ke dalam panci yang asapnya langsung mengepul ketika tutup di buka.
"Makan sini aja Bu" Aku duduk di kursi plastik setelah mengambilnya dari bagian depan gerobak
"Udah malem masih keliling aja Bu"
"Iya Mbak belum habis" jawab si ibu sambil meracik mie ayam pesananku.
"Dari pagi Bu jualannya?" hasrat ingin tahuku akan perjuangan si ibu mencari nafkah hingga larut malam memenuhi benakku.
"Ndak Mbak habis magrib kalau pagi Ibu ambil upahan mencuci dan gosok baju tetangga Mbak, kalau hanya mengandalkan hasil keliling ndak mencukupi kebutuhan Mbak" hatiku langsung berdesir mendengar cerita si Ibu
"Ini Mbak silahkan di nikmati"si Ibu menyodorkan semangkuk mie ayam yang masih mengepulkan asap aroma sedap langsung menusuk hidung.
"Makasih Bu" rasa asin, manis, gurih dan pedas menari di lidah terasa pas. Sambil menikmati mie buatan si Ibu yang enak banget bikin nagih Aku dan si Ibu mengobrol ringan seputar suka duka si Ibu keliling berjualan mie ayam.
"Braaakk" gerobak Ibu di pukul tampak tiga orang preman berbadan besar dan bertato menatap garang si Ibu. Sontak Aku segera berdiri dan meletakkan mangkuk di atas gerobak.
"Uang keamanan" pinta salah satu preman. Kepalanya di ikat dengan slayer bermotif batik
"Maaf Mas belum ada, dagangan Saya dari tadi belum laku"
"Ndak usah banyak alesan cepet bayar, kamu mau gerobak ini kami gulingkan" ancam preman lainnya yang memiliki postur tubuh paling besar dengan telinga yang ditindik dan di pasang anting besar
"Jangan Mas, Saya beneran belum ada uang Mas"
"Maaf Mas Mas ini jangan maksa dong, kasian si Ibu" Aku tidak bisa melihat tindak pemerasan yang terjadi dihadapanku apalagi korbannya wanita yang seharusnya dihormati
"Kamu ndak usah ikut campur anak kecil" hadik si preman yang berbadan besar tadi
"Eeeehh cantik juga tapi bos, bolehlah main sama Kita manis" salah satu preman yang memamerkan bagian atas tubuhnya mendekat ke arahku matanya menatap tubuhku dari atas hingga bawah.
"Jangan macam-macam Kamu" ancamku sambil memasang kuda-kuda siap menghajar jika preman ini sampai menyentuh tanganku. Di sekolah Aku juga bergabung di organisasi pencak silat jadi Aku mengusai berbagai teknik bela diri.
"Jangan galak -galak cantik, Kita ndak gigit kok."
"Mbak sebaiknya pergi saja, bahaya Mbak" pinta si Ibu dengan raut wajah khawatir.
"Sini cantik, yuk ikut Kita senang-senang malam ini" preman yang yidak memakai baju memegang tangan kananku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghajar preman -preman kurang kerjaan ini. Dengan sigap aku melancarkan aksiku dengan membalikan lengan preman tadi ke belakang punggungnya dan memiting lehernya. Dan dengan satu kali tendang di bagian kaki si preman mengerang kesakitan.
Dua preman lainnya tak tinggal diam menyaksikan temannya terjatuh. Mereka menyerang Aku bersamaan beberapa pukulan mereka layangkan aku masih mampu menghindar dan menangkis sambil aku memberi pukulan balasan, satu pukulan mendarat di wajah preman bertubuh paling besar, namun aku juga mendapat satu pukulan di bagian tangan. Dua lawan satu Mereka laki-laki dan Aku perempuan dari segi manapun tentunya Aku yang kalah, namun Aku berusaha melawan mereka walaupun beberapa pukulan aku dapatkan hingga datang seorang laki-laki membantuku . Gerakannya cukup cepat Dia dengan mudah melumpuhkan preman yang berbadan besar dan aku juga akhirnya berhasil melumpuhkan lawan dengan nafas tersengal-sengal. Preman -preman tadi akhirnya kabur.
"Ini minum dulu Mbak, Mas" Si Ibu menyodorkan dua botol air mineral. Dengan segera aku mengambil dan meneguk air tersebut hingga hampir tandas.
"Kamu itu perempuan, jangan sok hebat melawan preman -preman gila sendirian, sehebat apapun kemampuan bela diri yang Kamu kuasai tenaga kamu ndak bakalan mampu mengalahkan Mereka."
"Selagi mampu untuk melawan kenapa Kita harus menyerah, Mereka ndak akan kapok memeras dan menindas kaum lemah jika ndak ada yang bertindak menghentikanya"
"Itu namanya nyari mati. Kamu harus memperhitungkan kekuatan kamu dan kekuatan lawan seimbang ndak, kalau ndak mending kamu menghindar atau mengalah dengan menuruti permintaan mereka. Kasih aja uang lima ribu Mereka akan pergi ndak usah buang -buang tenaga."
"Lantas apakah harus mengalah juga jika mereka berusaha melecehkan dan merampas kehormatan kita sebagai kaum perempuan?" Emosi juga lama-lama menghadapi laki-laki yang entah datang dari mana tanpa diundang dan langsung menilai buruk tindakanku.
"Udah Mas, Mbak kok malah berantem sih. Mas Al Mbaknya ndak main hajar kalau preman -preman tadi ndak berkata kasar dan mencoba melecehkan si Mbak. Makasih ya Mbak udah nolongin Ibu tadi, Mas Al juga makasih udah nolongin si Mbak tadi. Mbaknya ndak papa to, ada yang luka ndak?" Aku menggeleng sebagai jawabnya
"Maaf udah marahin kamu" ucap laki-laki tadi
"Iya dimaafin, makasih udah nolongin Aku tadi" Dia hanya mengangguk
"Oh ya, Mbok ndak papa kan. Ada yang rusak ndak? "Laki-laki tadi mengecek gerobak si Ibu. Alhamduliah tidak ada yang rusak akibat tindakanku tadi.
"Ndak ada Mas Al semuanya aman." Jawab si Ibu menampilkan senyuman yang menyejukkan.
"Kalau semuanya aman aku pamit ya Bu udah malem. Ini uang mienya tadi" tanganku mengansurkan selembar uang dua puluh ribuan ke Ibu penjual.
"Ndak usah bayar Mbak, Ibu minta maaf udah ngerepotin Mbak jadi Mbak pulangnya kemaleman."
"Ini rezeki ibu, terima ya. Aku ndak merasa direpotin kok Bu. Ini kewajiban menolong sesama Bu. Aku pamit assalamualIkum"
Aku meninggalkan gerobak mie si Ibu dan laki-laki yang telah menolongku tadi. Di zaman ekomoni yang sedang sulit saat ini tingkat kejahatan semakin tinggi, pengangguran bertambah setiap harinya dan kemiskinan menjadi faktor utama tingginya tindak kriminalitas. Hanya mereka yang mau berusaha , ikhlas dan tetap berjuang saja yang mampu melewati ujian yang maha Kuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSENKU SUAMIKU
Ficción GeneralSejak ayahnya meninggal ketika Ia masih berumur 8 tahun Allisa tumbuh menjadi gadis yang mandiri, cerdas, tangguh, dan bertanggung jawab. Demi mewujudkan cita-citanya Allisa menerima tawaran beasiswa pendidikan di Kota sehingga ia harus rela...