19 Agustus, 2011.
Hujan mulai sering mengguyur Jakarta.
Malangnya, aku masih mengikuti kegiatan ekstrakulikulier sekolah. Alamat tak dapat pulang tepat waktu.
Sedikit menyesal karena tidak ikut membolos seperti Jihoon atau menolak ajakan Daehwi untuk pulang bersama.
Kuputuskan untuk menunggu sebentar lagi, mungkin saja langit akan segera berhenti menangis.
Tapi sama saja, sudah hampir satu jam dan tak ada perubahan. Menerobos hujan adalah pilihan terakhir.
Namun, ketika aku hendak beranjak, seseorang menghampiriku.
Dia datang menerobos hujan dengan mengayuh sepedanya, memakai kaos hitam, rambut yang basah, dan hanya mengenakan sandal jepit.
Katanya, "Kenapa belum pulang? Sudah hampir petang. Dimana kekasihmu? Dia tidak menjemput? Apakah dia akan cemburu jika hari ini aku menolongmu? Tidak apa-apa kan? Aku hanya tidak ingin kau sakit. Jadi jangan menolak ya!"
Aku tidak bisa menjawab, dia terlalu baik untuk orang sepertiku. Tubuhnya benar-benar basah, karena hujan menari-menari disekitarnya, bibirnya membiru karena aku tahu dia kedinginan.
Tidak ingin merasa bersalah, aku memangkas jarak dan meraih tangannya untuk mendekat padaku. Tak bisa melakukan apapun selain meminjamkan jaket milikku padanya, dan berterima kasih karena sudah mau menolong.
Tak lupa meminta permohonan, agar dia berhenti mengkhawatirkan ku. Karena aku tahu, aku tidak lama lagi.
Sungguh, aku tak ingin memberi hati lagi.
Dari jarak lima meter kami berdiri, laki-laki yang kusebut bajingan—datang dengan membawa payung juga jaket—dia terlihat panik dan ketakutan.
Mata kami bertemu.
Hancur sudah duniaku.
Waktu selalu tidak tepat.
—Woojin.