29 Oktober, 2011.
Pandanganku mulai kabur.
Betapa terkejutnya ketika bangun yang kulihat bukan cahaya lampu bangsal tapi sesuatu yang gelap. Tak berwarna. Hanya abu-abu dan hitam.
Aku menjerit ketakutan. Aku menjambak rambutku sendiri, menampar pipiku berulang kali. Memastikan semua ini hanya mimpi.
Gelap.
Dimana Ayah dan Ibu?
Dimana Keluargaku?
Mengapa mereka semua menghilang?
Mengapa semua menjadi hitam?
Mengapa tak ada sesuatu yang bisa kutangkap dengan mataku?
Mengapa?!
Suara deru langkah orang-orang menghampiri. Ada yang memeluk, ada yang menenangkan. Ada yang menangis sampai peluh mengenai tangan.
Aku—takut.
Aku takut seperti ini.
Tuhan, aku takut.... Tolong...
Tolong aku takut, aku belum siap menerima keputusan ini.
Aku belum siap untuk mati.
Disaat tangis dan rasa tidak terima menghampiri, kuputuskan untuk berdiri. Menghalau setiap orang yang mencegahku untuk bangkit.
Dengan kaki terseret, kuraba setiap sudut ruangan yang ada. Kucari dimana lembaran tiket itu berada.
Aku harus segera kembali. Aku harus segera bertemu dengannya.
Aku harus menemuinya. Sebelum aku benar-benar tidak bisa.
Tapi, tiba-tiba ada beberapa orang yang memaksa dan menarik kuat tubuhku. Aku limbung, suatu benda pipih dan runcing menembus kulit, tepat pada nadi pergelangan tangan.
Sakit...
Ini sungguh sakit, aku tidak mau seperti ini. Aku tidak mau menjadi lemah. Aku tidak mau menjadi manusia lemah.
Badanku menjadi lemas, kepalaku menjadi berat, seolah tak dapat menompang tubuhku sendiri, aku pingsan.
"Daniel, maafkan aku yang tak bisa menemui mu hari ini. Dihari bahagiamu harusnya aku ada dan mendampingi.
Semoga kamu mengerti, bahwa aku memang harus rela melepasmu perlahan. Merelakanmu bersanding dengannya yang lebih baik dariku.
Cinta tak sanggup membayar apapun yang kupunya terhadapmu.
Terhitung mulai detik ini kuputuskan untuk berhenti, karena sampai kapanpun keegoisanku tak akan pernah menang.
Maaf, aku menyerah."
—Woojin.