39. Bagian Pertama

322 54 7
                                    

Hampir Berakhir

25 September, 2018.

Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat.

16:55

Kutelusuri jalanan yang sering terjamah dengan kaki. Dibantu dengan setongkat alat, benda itu sudah seperti mata untukku. Beberapa suster menyapaku ramah ketika aku melewati lobi.

Kadang ada yang hanya memanggil, ada yang menggandeng tanganku, juga ada yang mengajakku untuk menonton teve. Meskipun aku hanya bisa mendengarkan tanpa melihat.

Mereka bilang, buta bukan akhir dari segalanya. Aku membuktikan perkataan mereka, dokter, keluarga dan sanak saudara. Kakiku masih bisa digerakkan untuk berjalan, tanganku masih bisa digunakan untuk menyentuh, hidungku masih mampu untuk mengendus aroma sate buatan Ibu, telingaku masih bisa untuk mendengarkan lagu-lagu favorit Hyejin.

Ah, adikku kini sudah masuk SMP. Aku bisa menyentuh mukanya yang sekarang mulai timbul jerawat. Bahkan, pipi chubbynya sudah mulai menghilang. Hyejin mengalami masa pubertas. Kadang, jika pulang sekolah ia lekas datang ke rumah sakit bergantian dengan kakak untuk menjagaku.

Kepulanganku ke Indonesia disambut hangat oleh seluruh sanak keluarga. Mereka adalah mesin pemberi semangat, sebagian dari nyawaku.

"Woojin, saya ke ruangan dokter sebentar. Oh iya, jangan lupa topinya dipakai. Agar kau makin tampan!"

Barusan adalah suara suster Sejeong. Suster gaul yang mau mengabdi pada rumah sakit ini selama lebih dari lima tahun. Kami berdua kenal ketika aku dirujuk ke rumah sakit ini setahun yang lalu. Dibandingkan dengan suster-suster yang lain, suster Sejeonglah yang paling nyambung denganku.

Selera musik kami berdua sama. Lagu-lagu lawas tahun 2011. Dari d'masive sampai lagu boyband Indonesia—yang sekarang kurang laku dipasaran. Obrolan kita berdua akhir-akhir ini bahkan sama. Tidak lain tidak bukan adalah tentang dokter magang yang katanya berwajah seperti dewa. Namanya dokter Oh, lengkapnya Oh Sehun.

Sempat beberapa kali aku tidak sengaja bertemu, dokter Oh memang sepertinya tampan. Dari suaranya saja sudah menjelaskan. Ketika dia lewat atau sekedar mengecek infus, aroma parfumnya lewat di indera penciuman. Dan aku suka wanginya. Suster Sejeong bertaruh denganku jika sebentar lagi dokter Oh akan bisa menjadi pendamping wisuda tahun depan saat suster Sejeong menyelesaikan gelar pasca sarjananya. Aku sih hanya tertawa.

"Terima kasih, sus. Jika kau bertemu dengan dokter Oh, sampaikan salamku padanya, dari Woojin pasien kece paling gaul sebangsal Adenium."

Suster Sejeong hanya tertawa, "Tidak. Dia hanya milikku. Sudah, pakai dulu jaketmu ini. Di taman sore-sore memang dingin. Kalau nanti kau mau kembali, langsung tekan tombol ini. Aku pasti akan datang."

Dua tepukan berhasil mendarat di punggung, dengan jelas aku mendengar langkah suster Sejeong yang kian lama kian menjauh.

Saatnya untuk menikmati udara sore. Menghirup aroma hujan akibat hujan barusan. Kata suster cuaca memang sedikit mendung, aku tak boleh terlalu lama disini.

Kuputuskan untuk duduk di bangku ini selama sepuluh menit. Mendengarkan suara-suara yang saling bersautan, dari suara kursi roda yang bergesekan dengan lantai, suara sirine ambulan, suara tangisan bayi, suara orang berlari, dan masih banyak lagi.

2011's + NielCham ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang