END

4.1K 150 28
                                    

BEGH.

Semua terasa ringan, semua terasa biasa, tak sesakit yang bocah hampir 9 tahun itu pikirkan. Dia bahkan merasakan kehangatan yang menjalar, disertai debaran jantung yang sama berpacunya, seperti debarannya.

"Kau tidak apa-apa? Kau terluka? Bilang, mana yang luka sayang? Hah? Mana yang luka?"

Nathan menatap wajah cemas itu tak percaya. Apa dia sudah mati? Apa ini mimpi?

Nathan tak menjawab apapun karena dia hampir lupa caranya mengeluarkan suara.  Sosok itu tidak menghiraukan ranjang dorong yang sudah stand by di sana, sosok itu mulai membawanya turun dari kantung angin raksasa yang entah muncul dari mana.

Nathan masih menatap sosok yang terlihat ketakutan itu, yang membawanya berlari sampai kesadarannya menghilang dan menambah kepanikan wajah itu.

*

"APA TIDAK ADA SATU ORANG WARASPUN DI SINI? HAH? Dengan tidak memberitahukan padanya tentang keadaanku, kalian malah membuatnya menyimpulkan kalau dia telah menyebabkan kematianku. GOSH!!!"

Orang tua, Dokter ahli, perawat, bahkan Syeril, semuanya pucat pasi. Setelah panik karena mendapati Nathan yang menghilang dari kamarnya, akhirnya mereka bisa bernafas lega. Syukurlah kalung GPS Nathan tidak pernah terlepas dari lehernya, jadi mereka bisa menemukan posisi Nathan dalam hitungan detik dan langsung berjaga-jaga untuk hal terburuk yang terlintas di kepala sang dokter ahli.

"Maaf, tapi kondisi mentalnya sedang tidak stabil saat itu, andapun masih comma, jadi kami pikir.."

"APA? APA? KALIAN BERPIKIR LEBIH BAIK DIA MERACUNI PIKIRANNYA SENDIRI? BEGITU? DEMI TUHAN! DIA HANYALAH BOCAH 9 TAHUN. 9 TAHUN."

BUG.

Semua terdiam ketika mendengar bunyi sesuatu terjatuh dan mereka langsung terbelalak ketika mendapati Nathan yang sudah melantai, berusaha untuk mengucapkan sesuatu.

"Ya Tuhan Nathan!"

Nata, yang baru sadar dari  komanya beberapa jam lalulah yang pertama kali menghampiri putranya yang masih mencoba mengucapkan sesuatu dalam tangisan diamnya itu.

"Pa."

Dan hati semua orang terasa tertusuk melihat kejadian itu.

"Iya ka. Ini papa. Ini papa. Lihat! Papa di sini. Papa baik-baik saja. Pegang papa ka! Pegang papa!"

Dan Nathan yang gemetar melarikan tangan kurusnya ke wajah yang ia rindukan. Membelainya dengan ragu, takut jika semua hanyalah fatamorgana. Dia bahkan mencoba mendengarkan debaran jantung sosok yang terlihat agak kurus itu.

Dug dug

Dug dug

"Papa. Papaku. Papaku." Isaknya lalu memeluk Nata yang juga memeluknya. Mengangkat tubuh ringkih itu hingga kakinya menggelayut di pinggangnya. Membiarkan emosinya larut dalam isak dan tangis yang menyayat hati.

"Iya. Benar. Ini papa Nathan. Terima kasih Tuhan. Terima kasih." Raungnya sambil menciumi sang anak yang sudah memerah dan memeluknya kembali.

"Aku mau pemeriksaan menyeluruh secepatnya. Kalau ternyata ada sedikit saja retak di tulangnya, aku tidak akan memaafkan kalian semua."

Dan semuanya mengerti kemarahan Nata. Mereka memang telah melakukan kesalahan dengan menyembunyikan keadaan Nata yang sebenarnya. Mereka tidak berpikir bahwa Nathan akan terpikir untuk menghilangkan nyawanya karena rasa bersalah.

Tapi syukurlah. Syukurlah Tuhan masih menyayangi mereka semua. Anak kembali pada ayahnya. Ayah kembali pada anaknya.

***

NO OTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang