"Pokoknya Nathan nggak mau papa antar dan jemput lagi ke sekolah titik. Papa bilang, kita punya demokrasi di rumah ini kan? Jadi tolong hormati keputusan Nathan. No more papa, no more driver and all those stupid body guard. Full mark!"
Teriakan itu bukan kali yang pertama. Mungkin sudah ke sekian puluh kalinya dalam satu semester terakhir ini. Syeril yang baru saja menidurkan Yildiz hanya bisa menghela nafas. Ayah dan anak itu, sama saja.
"Wohoo..lihatlah Pangeran kita yang ambekan ini. Bicaranya sudah seperti seorang senator saja. Hanya karena papa teramat sangat mencintaimu, bukan berarti kamu harus malu. Mereka hanya iri pada padamu. So what?"
Puk.
Nata merasakan pukulan di lengannya dan langsung tahu siapa pelaku pemukulan itu. Ya ya ya. Sang istrinya yang super duper tak pernah memihaknya.
"Kau membuatnya malu lagi?" Tuding Syeril yang hanya direspon dengan kecupan singkat lalu ditinggal pergi oleh sang suami.
"Pokoknya Nathan mau berangkat sekolah sendiri. Papa punya hak berkelakuan aneh di rumah, tapi tidak di sekolahku."
"WHAT?? kau bilang papa apa?"
Dan Syeril hanya mematung ketika suaminya sudah menghilang ke dalam kamar putranya yang sudah sangat kesal itu, sudah dipastikan mereka akan mengacaukan lagi kamar yang baru saja dirapikan tadi. Entah saling lempar bantal atau aksi acak-acakan selimut di ranjang.
"Terserahlah. Kalau sudah ributnya, cepat ke meja makan." Teriak Syeril yang tentunya tak direspon.
Tak lama, Nata datang dengan senyum tanpa dosanya ke meja makan, mencium sayang kening istrinya dan juga putri kecilnya yang cantiknya yang kini sudah berusia tiga tahun.
"Kakak butuh privasi sayang. Dia sudah 10 tahun, kau tak bisa terus memperlakukannya seperti bayi."
"He will always be my baby." Jawab Nata cepat lalu menyuap masakan istrinya yang sudah diambilkan.
Syeril menghela nafas. Memang kapan suaminya ini mau mendengarkannya jika itu menyangkut putra tercintanya? Never.
Lalu Nathan datang dengan wajah yang ditekuk, mengabaikan usapan sang ayah dan duduk di sebelah kanan ayahnya. Tempatnya di meja makan.
"Bentar lagi ayah akan menjemputku. Aku akan menginap di rumah ayah sampai kenaikan kelas."
Nata membeku dengan kata-kata sang putra. Ini kali pertama ia mengatakan hal seperti itu. Nata melakukan segalanya karena dia trauma pada kejadian yang dulu. Dengan nama belakang dan kesuksesan keluarga mereka, bahaya selalu mengincar mereka. Bahkan belum lama, Nata akhirnya memakaikan GPS pada seluruh perhiasan anak-anaknya. Thalia di anting, kalung dan gelangnya. Si baby di gelang kakinya, dan Nathan, kini bukan hanya di kalung pemberian kakeknya, tapi juga di gelang dan jam tangannya. Hal ini ia lakukan karena mereka mendapatkan surat kaleng yang tidak bisa mereka abaikan. Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik berjaga-jaga sebelum semuanya terjadi. Cukup sekali Nata merasakan pengalaman buruk itu, sumpah demi apapun, dia takkan pernah mau merasakan kepedihan itu lagi. Nathan sudah seperti nyawanya, dan dia akan menjaganya dengan nyawanya pula.
Nata masih tak berkomentar apapun, membuat suasana makan siang itu terasa begitu dingin. Nathan melihat raut sedih di wajah ayahnya, tapi Nathan ingin ayahnya tidak terlalu over protektif padanya. Dia ingin hidup normal seperti dulu. Dia ingin berusaha untuk segala sesuatunya. Tidak seperti sekarang, orang-orang baik padanya karena tahu siapa Nathan dan keluarga di belakangnya. Kalau begini caranya, bagaimana Nathan bisa membuat ayahnya bangga dengan usahanya sendiri?
Syeril yang melihat ketegangan itu hanya bisa menghela nafas. Dia mungkin ibunya, tapi dia tidak akan pernah bisa masuk di antara suami dan putranya itu. Nata pasti punya cara mendidik anaknya, dan Syeril percaya padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NO OTHER
RomancePutra Sulung Aryahadinata. Seperti namanya, dia adalah putra sulung keluarga Aryahadinata. Nata biasa ia dipanggil. Seorang pria gentleman yang begitu malang dalam cinta, kenapa tidak? kalau cinta pertamanya harus layu sebelum berkembang. Dan ketika...