Akhirnya bisa update cepet
Yuk ah mariiiiiiii*****
Rayan dan Chandra keluar dari ruangan kerja Rayan. Setelah perdebatan mereka tadi yang ujung-ujungnya tidak menemukan jalan keluar karena Rayan yang keras kepala tidak mau mendengarkan saran dari Chandra.
Akhirnya mereka sudahi saja toh masalah ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Mungkin sampai Rayan sudah menikahi Anyelir baru Chandra tidak akan cerewet lagi terhadap Rayan.
“Pak Rayan ini ada titipan dari ibu Sarah.” Regita sekretaris pribadinya memberikan bekal yang tadi Anye bawa.
“Oke terima kasih. Kamu bisa istirahat.” Rayan mengambil bekal tersebut, dalam hati ia bingung ada apa ibunya mengirimnya makanan. Tidak biasanya ibunya melakukan hal demikian.
“Gi, makan bareng di luar yuk. Gue yang traktir nih.” Chandra mengedipkan sebelah matanya pada Regita.
Sementara Regita hanya tersenyum sopan menanggapi candaan Chandra. Ia sudah kebal pada rayuan pria jangkung tersebut.
“Saya permisi pak.” Regita pamit dari hadapan Rayan dan Chandra.
Rayan hanya terkekeh melihat sahabatnya ini tidak ada habisnya menggoda sekretarisnya. Padahal Regita selalu bersikap acuh, “Nggak kapok-kapok lo yah? Nggak pernah ditanggepin juga sama Regita.”
“Namanya juga usaha. Dalam rangka apa nih nyokap lo ngirim makanan?”
Rayan hanya mengedikan bahu dan segera masuk ke ruangannya kembali, mengacuhkan Chandra yang masih berada di depan ruangannya.
*****Sudah 2 hari semenjak kejadian Anyelir mengunjungi kantor Rayan, gadis itu seperti kembali pada dirinya yang dulu. Murung dan kembali pendiam. Kegiatannya hanya pergi ke kampus dan langsung pulang ke rumah, mengunci dirinya dalam kamar. Lili dan bi Lastri sampai khawatir terjadi sesuatu lagi pada Anyelir.
Bahkan ia jarang sekali menyentuh ponselnya. Anyelir bahkan mengabaikan pesan dari tante Sarah.
Saat ini yang Anye butuhkan hanyalah sendiri tanpa ada yang mengganggunya. Tidak, Anye sudah tidak lagi menangis, terakhir dia menangis adalah saat ia berada di kantor Rayan. Anye sudah berjanji pada dirinya sendiri, seberat apapun masalahnya ia tak mau lagi mengeluarkan air mata.
Sekarang yang gadis itu lakukan adalah memegang ponselnya, sejak tadi ia hanya memandangi deretan nomor ponsel Rayan dengan tatapan nanar. Tangannya sampai dingin, ia gugup.
Anyelir sudah memikirkan keputusan yang ia ambil. Ia sudah berpikir panjang tentang resiko apa yang akan ia hadapi setelah ini. Yang Anye harap semoga keputusannya ini benar.
Meski hati kecilnya tidak mau tapi ia harus berfikir rasional.
Rayan tidak menginginkan pernikahan ini, laki-laki itu hanya tidak memiliki pilihan. Maka dari itu Anye yang akan mundur. Anye yang akan mengalah, ia tidak mau memaksakan. Bukankah sesuatu yang di paksakan itu tidak baik? Mereka hanya akan menyakiti satu sama lain.Anye tidak mau selamanya hidup dengan cara seperti itu. Sebagai seorang wanita biasa ia juga ingin hidup dengan laki-laki yang mencintainya. Ia ingin hidup seperti itu, tanpa ada paksaan atau karena titah dari siapapun. Anyelir sudah dewasa, ia mau menentukan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain.
Bunyi sambungan telepon masih terdengar, Rayan masih belum mengangkat panggilannya.
“Hallo” terdengar suara Rayan dari sebrang telelpon. Anye seperti kehilangan kata-katanya tidak mampu mengeluarkan suara.
“Hallo Anyelir. Ada apa menelpon?”
Anye menarik nafasnya pelan mencoba menenangkan detak jantungnya.“Ada yang ingin saya bicarakan-” Anye menggantung kalimatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR
General FictionRayan menghela nafasnya berat, dia juga bingung dan merasa bersalah di waktu bersamaan. "saya Rayan, Narayan Airlangga. Saya tahu ini bukan suasana yang pantas untuk berkenalan. Satu yang harus kamu tau saya nggak akan lari dari tanggung jawab". "Sa...