Part 25: Sensitif

308 45 41
                                        

Haiiiii lama banget kayaknya aku gak update

Happy Reading 😊

****

"Anyelir sadar Anyelir" Rayan panik luar biasa mendapati Anyelir ambruk di pelukannya. Beruntungnya ia tepat waktu menangkap tubuh gadis itu kalau saja telat Anye pasti sudah membentur aspal.

Rayan segera membawa Anyelir ke mobilnya, memposisikan tubuh gadis itu senyaman mungkin dan melajukan mobilnya ke rumah sakit. Demi apapun Rayan sangat khawatir saat ini. tubuh gadis itu sangat lemas dan wajahnya sangat pucat. Kenapa gadis itu selalu membuatnya khawatir seperti ini?

Beruntungnya jarak rumah sakit tidak terlalu jauh sehingga Anyelir bisa segera di tangani. Sementara Anyelir sedang ditangani dokter Rayan keluar ke bagian administrasi untuk mengurusi keperluan gadis itu.

Rayan membuka pintu ruang rawat Anyelir disana ia melihat dokter dan suster sedang menangani Anyelir. Rayan segera melangkah masuk dan berdiri di samping ranjang ia bisa melihat gadis itu terbaring lemah dengan infus yang menancap di tangannya.

“Bagimana keadaannya?” Rayan tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya.

“Saudari Anyelir sepertinya kelelahan dan maghnya kambuh. Tapi untuk lebih yakin saya akan melakukan cek darah untuk mengetahui pastinya. Tadi ia sempat sadar dan sekarang sedang istirahat karena pengaruh obat tidur. Sejauh ini tidak ada yang perlu di khawatirkan.”

Rayan menghembuskan nafasnya setelah mendengar penjelasan dokter.

“Kalau begitu saya permisi.” Dokter dan suster tersebut meninggalkan ruang rawat Anyelir.

Sekarang di ruangan itu hanya ada dirinya dan Anyelir yang terbaring lemah. Wajah gadis itu sangat pucat dengan keringat dingin membasahi dahinya, Rayan menggeser kursi dan duduk di samping Anyelir. ia mengusap peluh yang membasahi dahi gadis itu.

“Kamu selalu membuat saya khawatir” Rayan berkata dengan lirih tidak ingin gadisnya itu terganggu.

Rayan menyentuh tangan Anyelir dan menggenggamnya, menyentuh jemarinya dengan perlahan. Seperti tidak terusik dengan kegiatan Rayan yang terus menggenggam tangannya, Anyelir tetap tenang dalam tidurnya.

“Cepat sembuh, saya tidak mau melihat kamu sakit.” Rayan mengusap pipi Anyelir dengan halus.

****

Anyelir membuka kelopak matanya, ia merasa asing di tempat ini. Lalu pandangannya terarah pada tangan kanannya yang terinfus. Anyelir mendesis lagi-lagi ia harus diinfus. Terakhir kali ia diinfus saat peristiwa dirinya mencoba bunuh diri.

Anye mencoba bangun dan melihat keseluruhan dari ruangan ini matanya tertuju pada jam dinding yang menunjukan pukul 05.30 pagi. Bau khas obat-obatan menyengat indera penciumannya. Pandangannya terkunci pada jas yang tersampir di sofa. Ingatan Anye langsung melesak menuju kejadian tadi malam. Ia tidak bisa menopang keseimbangan tubuhnya karena kepalanya sangat sakit dan tubuhnya sangat lemas.

Namun sebelum dirinya jatuh, Rayan lebih dulu menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Ah ya Anye inget semuanya, jadi pasti Rayan yang membawanya ke sini. Anyelir celingukan mencari keberadaan Rayan. Apa dia sudah pulang? Tapi jasnya masih ada disini.

“Mencari saya?” Rayan tiba-tiba muncul dari arah kamar mandi yang terletak di ruangan tersebut. Wajahnya segar dan rambut depannya sedikit basah sepertinya habis mencuci muka.

Anyelir mengatupkan bibirnya tangannya memainkan ujung selimut ia tidak  mau menjawab pertanyaan Rayan. Anye merasa canggung di dalam ruangan ini hanya ada mereka berdua.

Rayan yang tahu Anyelir tidak akan menjawab pertanyaanya beralih ke sofa yang tadi malam digunakannya untuk tidur. Meskipun kurang nyaman tidur di sofa tapi Rayan tidak ambil pusing, dia hanya ingin menjaga Anyelir.

Rayan sedang mengecek e-mail yang masuk ke ponselnya namun suara gadis itu menghentikan kegiatannya.

“Terima kasih sudah membawa saya kesini  dan” Anye meremas ujung selimutnya.

Rayan menunggu kalimat selanjutnya yang akan Anyelir ucapkan.

“Menjaga saya semalam.”

Rayan tidak bisa mencegah dirinya untuk tersenyum mendengar Anyelir malu-malu berterima kasih. Tapi kalimat selanjutnya yang diucapkan gadis itu membuat senyumnya luntur seketika.

“Nanti saya ganti biaya administrasinya”.

Rayan mendengus, “Nggak perlu saya akan sangat marah kalau kamu menolak kebaikan hati saya, sekarang kamu istirahat saja tidak perlu memikirkan biaya rumah sakit.”

Anye ingin membantah karena Anye merasa tidak enak hati sudah merepotkan Rayan karena sikapnya selama ini sering membuat Rayan kesal. Anye jadi sedikit menyesal sering mengacuhkan Rayan.

“Saya sudah kasih tahu Lili, nanti siang dia kesini. Ada yang kamu butuhkan?”

“Nggak ada. Nanti saya yang menghubungi sendiri Lili.”

Keduanaya kembali terdiam. Sampai seorang perawat datang membawa nampan berisi makanan.

“Selamat pagi, ini obatnya  jangan lupa diminum sesudah makan.” Suster itu tersenyum ramah lalu mengecek selang infus Anyelir.

“Habiskan makannya ya mbak nanti dokter datang jam 7 untuk mengecek kondisi mbak Anyelir.” suster tersebut berlalu meninggalkan ruangan Anyelir.

“Saya sakit apa?”

“Kecapekan dan magh kamu kambuh. Pasti kamu telat makan. Apa tidak bisa kamu berhenti saja bekerja?”

Anye menghembuskan nafasnya lagi-lagi pembahasan ini, “Nggak bisa.”

“Kenapa? Kamu membutuhkan uang? Saya bisa kasih uang lebih dari gajimu bekerja di sana asal kamu mau berhenti bekerja.”

Anye mengerutkan dahinya tidak suka pada ucapan Rayan.

“Saya merasa terhina. Saya tahu kamu punya banyak uang tapi kamu nggak bisa mengatur saya seperti ini. Saya nggak masalah harus kerja sebagai pelayan cafe.”

Rayan sepertinya salah bicara, baru beberapa menit yang lalu hubungan mereka membaik sekarang begini lagi. Sepertinya Rayan memang tidak ahli dalam memperbaiki hubungan.

“Oke saya minta maaf perkataan saya sudah menyinggung perasaanmu. Saya cuma nggak mau melihat kamu jatuh sakit lagi karena kecapekan bekerja. Apalagi kamu punya magh.”

“Saya nggak selemah itu.”

Allahu akbar Rayan menyerah kalu harus berdebat dengan Anyelir, kenapa wanita itu sulit sekali melihat niat baiknya. Ia hanya ingin Anye tidak kenapa-napa, kenapa gadis itu tidak bisa merasakan kalau ia sangat mengkhawatirkannya.

Rayan memijat pelipisnya frustasi, ini memang kemampuan berbicaranya yang salah atau Anyelir yang terlalu sensi menanggapi perkataannya.

“Oke saya minta maaf sekali lagi. Sekarang habiskan dulu makannya setelah itu minum obatnya, mau saya suapi?”

“Nggak perlu tangan saya masi berfungsi.” Anye ingin tertawa sebenarnya melihat Rayan serba salah seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi Rayan itu selalu membuat dirinya kesal, niatnya memang baik tapi Anye tidak bisa menerima kebaikan Rayan karena ia bukan siapa-siapa dan lagi ia tidak mau berhutang budi pada Rayan.

“Kamu nggak pulang?”

“Kamu ngusir saya?” Giliran Rayan yang sensi.

“Nghh bukan, maksud saya kamu gak ke kantor?” ya ampun sekarang Anyelir yang merasa kikuk.

“Nanti setelah dokter datang dan mengecek kondid kamu setelah itu saya pulang. Kamu nggak papa disini sendiri? Lili bisa datang mungkin sepulang sekolah.”

“Nggak masalah.”

“Cepat habiskan makannya”

****

TBC

Bentar lagi konflik hehe

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang