Mora x Anya - Ferriswheel

30 8 6
                                    

"It's beautiful, isn't it?"

Anya menganggukkan kepalanya. Ia tak menoleh sedikit pun pada Mora dan tetap fokus pada pemandangan di luar sana. Terima kasih Tuhan, hari ini sangatlah cerah sehingga Anya sama sekali tak menyesal mengiyakan ajakan Mora naik bianglala tepat setelah ia menginjakkan kakinya di negeri ini setelah dua bulan penuh melanglang buana di atas panggung fashion show di Paris sana.

Juga dua bulan sejak mereka terakhir kali bertemu. Sekadar video call pun tak pernah Mora dan Anya lakukan. Bahkan menelepon satu sama lain pun jarang.

Rindu?

Tentu saja.

Siapa yang tahan tak melihat wajah orang yang kau cintai selama itu di era modern seperti sekarang?

"Paris gimana? Enak?" tanya Mora lagi.

"Enak, tapi susah nyari nasi padang,"

Mora tertawa renyah. Anya juga tersenyum tipis. Mereka berdua kini ada di puncak bianglala dan berhenti sejenak. Senyap kembali menghantui mereka.

Suasana di antara mereka sudah secanggung ini sejak Anya berangkat ke Paris. Kalau bukan karena Jani dan Gion tak bisa menjemputnya tadi ini, Anya juga tak akan meminta Mora untuk datang.

"Nya, kita kok... Canggung ya?" celetuk Mora saat bianglala kembali bergerak.

"Ng... Biasa aja kok,"

"Sure?"

"Yea,"

"Bukan karena kamu belum bisa ngejawab lamaranku?"

Tepat sasaran.

Tentu Mora tak sebodoh itu untuk tak menyadari semuanya. Jauh dalam lubuk hatinya ia tahu Anya masih ingin menghindarinya. Mora mengerti mengapa Anya bersikap seperti ini.

Mora melamarnya dua bulan lalu dan itu sudah direncanakannya jauh-jauh hari. Mora ingin sepulangnya Anya dari Paris mereka bisa langsung mengatur pernikahan mereka. Mora ingin selama Anya masih di Paris, mereka bersama-sama membayangkan pernikahan impian mereka walau hanya lewat telepon. Sedetail itu rencana Mora dan semuanya terasa indah sampai suatu kabar merusak semuanya.

Jani, kakak Anya, bercerai setelah hampir empat tahun bersama.

Mora sangat mengerti betapa hal itu sangat memengaruhi Anya. Orang tua Anya telah bercerai sejak usia Anya baru sepuluh tahun. Jani menjadi figur ibu dalam kehidupan saudara-saudaranya sampai datanglah Hans mengisi figur ayah. Mereka yang berhasil membuat Anya yakin pernikahan bukanlah hal buruk seperti yang dialami orang tuanya.

Namun keyakinan Anya hancur setelah tiba-tiba Jani dan Hans juga bercerai.

Sialnya, Mora baru mengetahui perceraian itu tepat setelah ia melamar Anya. Andai ia tahu sedikit lebih awal, tentu ia tak akan melamar Anya saat itu juga.

"Aku takut," lirih Anya. "gimana kalo kita ujung-ujungnya juga cerai? Gimana kalo suatu saat kita bosen satu sama lain, terus udah nggak betah lagi hidup bareng? Gimana kalo itu terjadi setelah kita punya anak? Nasib anak kita nanti gimana?"

Mora menarik Anya dalam pelukannya. Ditepuknya punggung Anya pelan, membuat air mata gadis itu tumpah dengan sendirinya. Anya menyembunyikan wajahnya dalam dada Mora dan terisak pelan.

"Aku juga Nya," ucap Mora. "tapi kalo kita takut nantinya kita bakal cerai, berarti kita takut pisah kan?"

Wajah Anya benar-benar sembab saat ia mendongak menatap Mora. Pria itu tersenyum simpul.

"Nya, aku nggak tahu di masa depan nanti aku masih cinta kamu atau nggak. Tapi aku nggak pernah bisa ngebayangin kehidupanku di masa depan tanpa kamu,"

"Mor..."

"I love you, I really do," Mora menghela napas. "you know cheesy is not my thing but... Nya? Are you okay?"

Anya memeluk Mora erat. Sangat erat sampai Mora tak tahu harus berbuat apa.

"I love you too,"

"Hah?"

"I said 'I love you too', idiot,"

"Jadi kamu nerima lamaranku?"

"Iya,"

"Jadi kita nikah?"

"Iya,"

"Anya kamu nggak lagi kebawa suasana aja kan?"

"Aku juga nggak bisa bayangin hidupku bakal kayak apa kalo nggak ada kamu,"

Kalau Mora tak ingat mereka masih berada dalam bianglala, ia sudah melompat kegirangan dan mengangkat Anya ke udara. Ia terlalu bahagia sampai tak sanggup lagi berkata-kata. Susah payah ia menahan diri sampai air matanya menetes.

"Em... Mor..."

"Ya?"

"Ayo turun, udah dibukain pintu ini,"

Mora hanya menoleh tanpa melepaskan pelukannya. Tampak petugas dan beberapa orang yang mengantri menahan senyum melihat mereka berdua.

"Mas, pelukannya nanti dulu ya? Lagi pada ngantri," ucap petugas itu.

"Pak," panggil Mora.

"Iya Mas,"

"Saya bentar lagi nikah Pak... Lho Nya? Kok lari? Nya! Anya!"

Tanpa berkata-kata Anya langsung bangkit dari duduknya dan buru-buru keluar. Ia tak peduli suara Mora yang memanggilnya juga tawa dari orang-orang yang memerhatikan mereka tadi.

Dua bulan di Paris agaknya membuat Anya lupa akan hobi Mora untuk memalukan dirinya sendiri.

~DONE~

Hotshot Timoteo sebagai Mora Panji Timothy/Mora, si pacar yang akhirnya mendapatkan kepastian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hotshot Timoteo sebagai Mora Panji Timothy/Mora, si pacar yang akhirnya mendapatkan kepastian

Hotshot Timoteo sebagai Mora Panji Timothy/Mora, si pacar yang akhirnya mendapatkan kepastian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laboum ZN sebagai Zianya Agatha/Anya, si gadis yang akhirnya tak lagi penuh keraguan


Karena menciptakan sebuah ending yang bagus adalah sulit untukku :')

Love SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang