6.0

419 113 23
                                    

.

"Lele!"

Satu FISIP udah sangat terbiasa mendengar teriakan kayak gitu. Udah tahu juga wujud yang dipanggil bakal kayak apa. Nggak kayak lele sama sekali. Tapi nggak ada juga yang merasa panggilan itu perlu diganti.

Dan Leo sendiri udah terlalu terbiasa sampai kadang hampir lupa kalau nama aslinya Leo dan bukan Lele.

Jadi, cowok itu nengok. Mencari sosok yang memanggilnya barusan.

Dan begitu matanya menemukan siapa yang barusan manggil, bibirnya otomatis melengkung membentuk senyuman.

Senyuman yang anehnya bukan senyum bego atau konyol kayak biasanya.

"Eh, Hana," senyum Leo makin lebar ketika cewek itu udah mendekat. "Kenapa, Han?"

Hana tersenyum. Cewek cantik bertubuh mungil itu mengulurkan sesuatu di tangannya. "Mau nitip ini, titip bilangin makasih juga ya."

Leo menatap benda di tangan Hana. Sebuah buku. Buku pengantar makroekonomi apalah itu, Leo juga nggak ngerti. Tapi Leo tahu jelas, buku itu punya siapa.

"Oh, punya Sam ya?" tanya Leo sambil menerima buku dari Hana. "Kenapa nggak balikin langsung aja?"

Hana tersenyum malu-malu. "Nggak enak, takut ganggu. Kalau Lele kan temennya."

Pernyataan polos itu bikin Leo ketawa sekaligus gemas. "Santai aja, Han. Sam anaknya baik kok. Ajak ketemuan aja."

Leo nggak bakal bohong, dia nggak sepenuhnya tulus bilang begitu. Dia lebih senang kayak sekarang, Hana melibatkan dirinya buat urusan menyangkut Sammy. Tapi Leo juga tahu sorot harap di mata cewek itu. Dan gimana manisnya tingkah Hana tiap kali bisa interaksi sama Sammy.

Jadi, mengabaikan perasaan berontak dalam hatinya, Leo menyodorkan kembali buku di tangannya.

Tapi cewek cantik di depannya cuma menggeleng. "Titip aja, Le. Nggak pa-pa, kan? Gak ngerepotin?"

Leo tertawa. Dalam hati berpikir, bahkan kalau itu hal merepotkan sekali pun, dia nggak akan keberatan demi Hana.

Crap.

Mungkin The Rose harus mulai putar haluan jadi band dengan genre dangdut.

Soalnya salah satu vokalisnya udah dangdut banget cuma gara-gara cewek.

"Nggak sih, santai aja," Leo memainkan buku di tangannya. "Jadi gue aja nih yang balikin?"

"Iya, Lele aja. Kan lebih sering ketemu," Hana senyum, Leo meleleh diam-diam. "Duluan ya, Le. Mau mampir ke sekre dulu."

"Oke deh, Han. Ati-ati,"

Hana mengangguk masih dengan senyumnya. Setelahnya berjalan meninggalkan Leo yang masih mematung sambil melambaikan tangan. Senyumnya masih mengembang bahkan sampai sosok Hana udah menghilang di tangga.

Kalau Dilan atau Jeffri lihat ini, mereka pasti udah berlagak muntah abis-abisan.

Cringey banget abisnya.

Leonardo emang menyedihkan.

.
.
.

Jeffri mengusap-usap pipi kanannya sambil mendesah pelan. Sakitnya nggak seberapa. Perasaan kesalnya jauh lebih mendominasi.

Gusar, cowok jangkung itu membanting tubuhnya ke kasur. Matanya memandang langit-langit kamar.

Kamarnya.

Iya, Jeffri akhirnya pulang ke rumah setelah hampir seminggu luntang-lantung numpang tinggal di rumah atau kosan siapa pun yang bersedia menampung.

Itupun, dia akhirnya pulang karena orang-orang suruhan Papinya berhasil menemukan dia di dekat kampus.

Dan Jeffri udah tahu, Papi tersayangnya nggak bakal menyambut hangat begitu dia sampai di rumah.

Yang dia terima malah tamparan.

Yang sampai sekarang panasnya masih terasa di pipi kanannya.

Jeffri memejamkan mata. Membayangkan rasanya jadi Sammy—bebas bermusik tanpa ada yang menghalangi. Atau jadi Leo—punya keluarga yang selalu mendukung tanpa menentang. Atau jadi Dilan—yang kayaknya, satu-satunya masalah terbesar dalam hidupnya cuma menghadapi kelakuan absurd Leonardo dan Jeffarian.

Jeffri tertawa kecil.

Rumput tetangga memang selalu lebih hijau.

Mereka pernah bahas ini. Tentang kenapa rumput tetangga selalu lebih hijau. Kenapa rasanya, hidup orang lain selalu kelihatan lebih beruntung.

Jeffri ingat, waktu itu Sammy bilang,

"Daripada sibuk mikirin rumput tetangga, mending lo nyibukkin diri ngurusin rumput lo sendiri. Biar nggak sempet mikirin rumput orang."

Itu kiasan, jelas. Jeffri juga mengerti penuh makna kata-kata Sammy.

Daripada sibuk iri sama hidup orang, lebih baik sibuk membenahi hidup sendiri, kan?

Tapi Jeffri nggak ngerti,

Dia cuma butuh musik buat bisa waras.

Kalau itu pun nggak boleh, dia harus pakai narkoba?

Kepala Jeffri menggeleng dengan sendirinya. Berbagai kilasan memori yang sudah lama ingin ia buang, perlahan bermunculan.

Cowok itu menghela napas. Lelah.

Ia benar-benar ingin menjadi orang lain, siapa pun.

Yang nggak perlu mengalami sakitnya melihat instrumen kesayangannya dibanting sampai hancur di depan mata, oleh ayahnya sendiri...


***

We're In The Rain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang