12.0

358 98 10
                                    

.

"Jadi, kamu sama adik kamu beda 13 tahun?" Hana bertanya nggak percaya. Sammy cuma mengangguk singkat.

"Wow," Hana terdengar amazed. Matanya masih memperhatikan Sammy, seolah mencari pembenaran.

"Kenapa?"

"Cute, isn't it?"

Sammy ketawa. Tawa manis yang diam-diam bikin Hana ikut tersenyum.

"Aku pikir kamu anak tunggal atau semacamnya? Atau mungkin malah anak bungsu? Didn't think you have a younger brother instead. Dan 13 tahun... Jadi dia sekarang baru... Wait, 7 years old? Sam, are you kidding me?"

Sammy tertawa lagi. Nggak menyangka kalau reaksi Hana bakal se-enggak percaya itu sama ceritanya.

"Serius. Emang baru 7 tahun. Masih SD. Mau liat fotonya?" tawar Sammy.

Hana melongo. "Boleh?"

"Sebentar." Sammy masih setengah tertawa waktu dia mengeluarkan ponselnya dan sibuk mencari sesuatu. Sementara Hana, tanpa sadar menunggu dengan nggak sabar.

"Here," kata Sammy akhirnya, mengulurkan ponselnya ke arah Hana. Cewek itu menerimanya dan menatap foto yang diperlihatkan Sammy.

Matanya membulat. Bikin ketawa Sammy makin keras, seolah ia sudah memprediksi reaksi itu.

"Wait, wait, wait," Hana menunjukkan layar ponsel Sammy pada pemiliknya. "Dia mixed...? Are you...?"

"Gue nggak," Sammy menggeleng sambil tersenyum tipis. "Bokap sama nyokap gue cerai waktu gue baru umur 2 tahun. Terus nyokap nikah lagi, sama orang Amerika. Lahir dia," jelas Sammy, mengangguk ke arah ponselnya.

Hening sejenak. Hana diam sambil memperhatikan cowok di depannya itu.

"I'm sorry to hear that."

Sammy menggeleng. "No, you don't have to be sorry. I'm totally fine."

Senyum Sammy membuat Hana percaya kalau cowok itu emang nggak memiliki kesedihan apa-apa tentang perceraian orang tuanya. Hana terdiam lagi. Dia pikir, Sammy lahir di keluarga yang sempurna. Yang penuh cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Bukan berarti Hana berpikir kalau keluarga Sammy yang sekarang nggak seperti itu. Hanya saja, dia nggak mengira kalau perceraian pernah ada di keluarga Sammy.

"Siapa namanya?" tanya Hana akhirnya, berusaha mencairkan suasana. Tangannya mengembalikan ponsel Sammy pada pemiliknya.

"Ajun," jawab Sammy, tersenyum bangga. "Ajundra Kaffazriel."

Hana tertawa. "Seriously, Sam?" cewek itu menutupi mulutnya dengan tangan. "You're Sammy, and he's Ajun?"

"You got the point." Sammy tersenyum kecil, menahan tawa. Matanya menyipit. Dan ketika dia akhirnya tertawa, tawanya begitu lepas. Hingga Hana hampir tertegun canggung hanya karena tawa Sammy.

"Udah banyak yang bilang. Muka sama namanya ketuker ya?" Sammy berkelakar, masih di sela tawanya. Bikin Hana nggak bisa menahan senyum.

"It suits you, tho," ucap Hana pelan. "The 'Sam'."

"Wah," Sammy menatap Hana. "Gue harus memaknainya gimana tuh?"

"Take it as compliment." Hana tertawa.

Keduanya kemudian terdiam sebentar setelah berhenti dari tawa masing-masing.

Hana menatap cowok di depannya itu. Mengenal Sammy rasanya seperti mendapat kotak Pandora. Cowok itu mampu membangkitkan rasa penasaran siapa pun yang mengenalnya. Dan semakin dalam ia mengenal Sammy, semakin Hana tahu kalau Sammy punya begitu banyak hal dalam dirinya yang nggak semuanya hal baik.

Seperti manusia lainnya, Sammy juga punya kisah sedihnya sendiri.

Tapi, pembawaan cowok itu selama ini, membuat Hana tahu kalau di dalam diri Sammy, selalu ada prinsip dan harapan yang nggak pernah lupa ia genggam.

Jadi, berbekal rasa penasarannya, Hana memberanikan diri membuka suara.

"Sam, can I ask you something?"

Sammy menoleh. Tersenyum. "You have asked so many things already," katanya, setengah bercanda. "Go on."

Hana menimbang beberapa saat.

"Kamu masih berhubungan sama ayah kandung kamu?"

Sammy nggak langsung menjawab. Bibirnya tersenyum, tapi matanya seolah menghindari tatapan Hana.

"Well, kinda? Not really, but," Sammy berhenti sebentar. "Gue nggak mau jawab pertanyaan ini, Han. Sori ya."

Hana tersenyum minta maaf, lalu mengangguk maklum.

"Aku ngerti kok. Sori."

Mereka berdiam lagi. Dalam kepala Hana, satu pertanyaan masih berputar dan memaksa untuk disuarakan. Jadi, dengan suara pelan, cewek itu bertanya lagi.

"Can you tell how to deal with... Those things?" Hana menatap Sammy yang menatapnya balik, dengan pandangan bertanya. "Gimana kamu menerima ayah baru kamu? Gitu aja? I mean, punya dan menerima keluarga baru bukan hal mudah buat sebagian orang, kan?"

Untuk beberapa saat, Sammy cuma menatap Hana dalam diam.

Sampai akhirnya ia tersenyum.

"It was hard for me too," katanya. "But I tried to change my point of view."

"Gimana?"

"Kalau nyokap gue bahagia, kenapa gue harus gak bahagia?" Katanya, dengan senyum yang semakin jelas. "If it's for her happiness, I could do anything. She is my happiness after all."

Dan lagi-lagi, Hana merasa degup jantungnya berubah berantakan.

Sammy masih tetap lelaki seperti itu buat Hana—lelaki dengan 1001 pesona yang selalu berhasil membuatnya terjerat.

.
.
.

"Lo kayaknya makin deket aja, Sam, sama si Hana?" tanya Jeffri suatu hari.

Mereka lagi ada di studio, berniat latihan. Minus Leo yang baru akan nyusul setelah selesai kelas. Dan minus Hana juga, karena hari ini mereka emang nggak bilang Hana kalau bakal latihan.

Sammy cuma tertawa pelan. Cowok itu lagi sibuk sama buku di tangannya. Menulis sesuatu, lalu mencoba beberapa chord di gitarnya, lalu menulis lagi.

Kalau udah begitu, Sammy nggak begitu memperhatikan sekitar.

Jadi dia nggak sadar waktu Dilan menatapnya aneh dari balik keyboard.

"Kok ketawa? Serius gue, kapan resmi?" tanya Jeffri lagi. Tangannya memetik gitar, menyanyikan sebuah lagu cinta asal-asalan yang kebetulan melintas di kepalanya. Bikin tawa Sammy makin keras terdengar.

"Gue sama Hana cuma temen." Katanya, bahkan tanpa mengalihkan fokus dari kesibukannya. "She's a nice person. We have many things in common too so... yeah."

Jeffri tersenyum miring. "Dia tuh cantik, Sam. Masa lo gak berdesir kalau lagi bareng dia?"

Sammy akhirnya menoleh. Bibirnya melengkung, membentuk senyum tipis. "Temen, Jeff. Temen. Dia anaknya asik, baik, gue nyambung banyak ngobrol sama dia. Tapi yaudah."

Jeffri belum menyerah, masih berusaha menggoda Sammy tentang Hana.

Sementara di sudut ruangan, Dilan menghela napas pelan. Setengah bersyukur setengah menyesal Leo nggak ada di sini saat ini.



***

We're In The Rain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang