.
."Dil—"
Leo batal memanggil Dilan. Tangannya yang tadi sudah terangkat untuk mengetuk pintu bercat cokelat di depannya itu pun terhenti canggung di udara.
Perlahan, Leo merapatkan tubuhnya ke pintu. Berusaha mendengar suara dari dalam lebih jelas.
Sepertinya, Dilan sedang bicara dengan seseorang.
Leo tidak mendengar suara orang lain, jadi ia berkesimpulan kalau percakapan itu satu arah.
Menghela napas, Leo bersiap kembali ke kamarnya sendiri. Tidak ingin mengganggu Dilan. Ia bisa kembali lagi nanti, kalau Dilan sudah selesai dengan urusannya.
Tapi langkah Leo terhenti ketika telinganya menatap suara asing dari kamar Dilan.
Samar. Halus. Nyaris tak terdengar,
Suara seperti isakan.
Tubuh Leo membeku di tempatnya.
"Iya, nanti Ian pulangnya abis UAS," suara Dilan begitu pelan, bicara dalam bahasa daerah yang Leo pahami sedikit-sedikit. "Ya masih lama. Tiga sampai empat bulan lagi."
Leo bimbang. Dia ingin segera pergi dari sana karena menurutnya, percakapan Dilan terlalu pribadi. Tapi di sisi lain, dia nggak tega membiarkan Dilan sendirian.
Homesick emang musuh bersama seluruh anak kosan.
Apalagi bagi anak rantau kayak Dilan.
Di antara personil The Rose, emang cuma Dilan yang anak daerah. Yang lain termasuk anak kota. Apalagi Jeffri, yang emang dari SMA udah jadi anak hits ibukota.
Dan Leo tahu, meskipun selama ini lumayan sering kena homesick, Dilan lebih suka menyimpan semuanya sendirian.
Entah karena emang nggak butuh berbagi, atau anak itu cuma nggak pengen dianggap lemah.
Leo menghela napas pelan. Dia sengaja menjeda beberapa menit dari suara terakhir Dilan menutup teleponnya. Setelahnya, seolah sebelumnya nggak ada di sana, Leo berteriak dengan nada menyebalkannya yang biasa. Tangannya menggedor pintu kamar Dilan.
"Lan, bagi indomie kek, gue laper."
Tidak ada jawaban.
Jadi, Leo memukul pintu di hadapannya sekali lagi.
"Woi, Lan. Tidur lo ya? Bagi indomieee," rengek Leo. "Dilan, Dilan, Dilaaaan!"
"Berisik, Le!" Dilan akhirnya balas berteriak dari dalam, tanpa membuka pintu. Suaranya terdengar normal. Diam-diam, Leo tersenyum. "Gih sana masak air dulu, nanti gue nyusul ke dapur."
Leo tertawa kecil. "Oke, Bos!"
.
.
."Tangan lo kenapa, Jeff?"
Jeffri yang sedang memainkan gitar Sammy mendadak berhenti. Kepalanya tertoleh menatap Sammy, lalu mengikuti arah pandang cowok itu.
Ke arah lengannya sendiri.
"Oh," Jeffri tertawa sumbang. Berusaha menurunkan lengan jaketnya demi menutupi lebam yang menghiasi lengannya. "Ini kemaren kepentok."
"Nggak sakit?"
Jeffri menatap Sammy penuh-penuh. "Wah," katanya dengan nada terkejut yang dibuat-buat. "Kamu perhatian banget, aku terharu?"
Sammy tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Gue nanya serius. Posisi memarnya keliatan nggak ngenakin banget kalau buat dipake ngegitar?"
Samar, tawa di wajah Jeffri sirna perlahan. Meninggalkan wajah canggungnya.
Kepalanya memutar kilasan kejadian dua hari lalu, hari dimana ia memperoleh lebam itu.
Perbuatan Papi tersayangnya lagi, tentu saja.
"Iya sih," Jeffri menyetujui. Tapi kemudian tersenyum. "Tapi nggak pa-pa elah," cowok jangkung itu mengibaskan tangan.
Setelahnya Jeffri kembali sibuk mempelajari catatan chord milik Sammy. Sebuah lagu self-composed yang masih lumayan mentah.
"Jeff, tapi—"
"Eh, ini draft lo gue coret-coret boleh nggak?"
Pandangan keduanya bertemu. Jeffri memang dengan sengaja memotong ucapan Sammy. Entah kenapa, untuk beberapa saat tadi, ia merasa terancam.
Sejenak, Sammy diam.
"Di baliknya aja, atau lo bikin baru sekalian aja yang versi lo. Siapa tahu bisa di-mix," jawab Sammy akhirnya.
Jeffri tersenyum. "Oke."
Keduanya kembali diam. Sibuk dengan urusan masing-masing. Jeffri dengan gitar dan catatan Sammy di hadapannya, sementara Sammy, cowok itu masih memperhatikan Jeffri diam-diam.
Sampai dia dikejutkan oleh suara Jeffri.
"Lo jangan ngeliatin gue mulu," kata Jeffri, masih tanpa menoleh. "Kalau lo naksir gue, ribet urusannya, Sam. Dikejar cewek-cewek aja gue capek ngadepinnya. Gimana kalau yang ngejar vokalis The Rose? Gue takut gak bisa nolak."
Bikin pick gitar milik Sammy melayang ke arahnya.
.
.
."Lan, Sabtu ini nganggur gak?"
Nggak ada jawaban. Yang terdengar cuma suara mie yang diseruput. Otomatis, Leo menoleh ke sebelahnya dan tertawa pelan.
Dilan kalau udah ketemu makanan emang nggak bisa diganggu.
"Hahnpa? Kay—"
"Telen dulu."
Dilan nyengir sekilas kemudian berusaha menelan isi mulutnya yang penuh. "Nganggur kayaknya. Kenapa? Sam ngajak latihan?"
Leo menggeleng. "Bukan itu."
"Terus?"
"Gue mau balik Sabtu ini, disuruh pulang sama nyokap." Leo berhenti sebentar. Menyuap mie-nya lalu mengunyah. "Lo ikut kek. Nginep di rumah gue."
Ajakan itu bikin Dilan terdiam. Rumah Leo emang masih di sekitar jabodetabek, masih memungkinkan buat cowok itu pulang tiap akhir minggu kalau jadwalnya lagi nggak padat. Nggak kayak Dilan yang beneran bisa pulang cuma pas libur semester karena terkendala biaya transportasi yang mahal.
"Tumben amat," kata Dilan, sembari kembali makan.
"Ya biar nyokap gue kenal lo," ucap Leo asal. "Biar nyokap tahu teman sehidup semati seperjuangan gue menghadapi kerasnya hidup di kos-kosan." Leo memperagakan gaya lebay seperti biasa, plus akting sok nangisnya. Bikin Dilan memutar bola mata.
"Liat nanti deh ya."
"Sip."
Leo mengacungkan jempol lalu kembali sibuk dengan mangkok mie-nya. Pun Dilan.
Tapi diam-diam Leo tersenyum.
Kalau Dilan nggak bisa pulang demi merasakan suasana rumahnya sendiri,
Setidaknya dengan cara ini, Leo bisa membiarkan Dilan merasakan suasana rumahnya.
Sambil berharap, rumahnya bisa sedikit membantu Dilan mengobati rindu.
***
Insert Sammy's California there because everytime I listen to the song, I feel like he's talking about the cozy feeling of being homey in his California :")
KAMU SEDANG MEMBACA
We're In The Rain✔
General Fiction"do you hear me?" . . . Sammy, Leo, Dilan and Jeffri stayed in the same band for like two years already. People claimed they do look like siblings, or some family members. But, that doesn't mean they know each other that well. Sad truth. ㅡOct, 2018...