.
"Sam!"
Teriakan itu bikin langkah Sammy terhenti. Cowok itu kemudian berbalik, menemukan sosok Leo yang lagi lari mendekat.
"Le?" Sammy menatap bingung. "Ngapain?"
Wajar kalau Sammy kebingungan. Fakultas Sammy sama Leo jaraknya lumayan jauh. Plus, Leo anaknya mageran. Ngapain juga dia jauh-jauh nyamperin Sammy? Perasaan nggak ada janji yang penting?
Leo terengah sebentar, sambil menepuk-nepuk bahu Sammy yang berdiri di depannya. "Kemaren temen gue jadi ke kontrakan?"
Sammy mengernyit, makin bingung. "Temen? Temen lo yang ma—oh? Yang mau minjem buku itu?"
"Iya, iya, yang itu," ujar Leo nggak sabar. "Jadi?"
"Iya, jadi."
Leo manggut-manggut. "Dia ke kontrakan sendirian?"
Kerutan di kening Sammy makin dalam. "Ya... Kayaknya sih sendiri. Kenapa?" Sammy bertanya balik sambil ngajak Leo buat duduk di salah satu bangku panjang yang disediakan di sisi-sisi koridor.
Leo nyengir. "Nggak. Nanya doang."
"Kenapa gak lo anterin, Le? Kan temen lo?"
Cengiran Leo makin lebar. Kalau lagi nyengir gini, dia makin nggak mirip lele—ya emang selama ini juga nggak ada mirip-miripnya sih—tapi entah kenapa, hasrat buat manggil dia lele justru bakal makin bertambah.
"Kan gue nggak mau ganggu."
"Lah?"
Leo setengah ngakak liat muka bingung Sammy. Wajar. Meskipun Sammy ganteng dan lumayan populer, cowok itu cenderung nggak jago masalah percintaan.
Ya sebenernya anak The Rose emang remed semua urusan cinta. Keseringan pacaran sama instrumen masing-masing, jadi kagok kalau menghadapi cewek beneran.
Dilan contohnya. Senyumnya diobral murah kalau udah ketemu drum. Coba kalau ketemu cewek, datar banget mukanya.
"Gimana anaknya?" Leo mulai lagi dengan sesi interogasinya. Nggak peduli muka Sammy udah clueless banget.
"Ya... Baik?" Sammy garuk-garuk kepala. "Siapa deh namanya? Gue aja lupa..."
"Hana, Hana," Leo menjawab antusias. "Cantik ya?"
Sammy ketawa. "Apaansih, Le?"
"Yee, cantik gak?"
"Ya cantik," Sammy nyengir. "Kan cewek. Kalau cowok, ganteng."
"Anjir garing banget," Leo menatap Sammy nggak percaya. "Kalau cantik, gebet lah, Sam?"
Kalimat Leo bikin Sammy ketawa lumayan kenceng. Dan Leo, yang nggak merasa lagi melawak, ngeliatin temannya itu dengan tatapan bingung.
"Kok malah ketawa?" Leo melongo beneran. Mata sama lobang idung udah sama aja buletnya.
"Ck," Sammy mengibaskan tangan. "Lo kan tau, gue nggak sempet yang kayak gitu, Le."
"Yeee," Leo menoyor kepala Sammy. "Biar idup lo berwarna dikit, Sam?"
"Ntar gue beli krayon."
"Anjirlah, gue punya temen selera humornya murahan semua, heran."
Sammy makin ngakak sementara Leo pasang muka bingung.
"Gue kelas dulu lah." Sammy bangkit berdiri.
"Eeeh, tar dulu," Leo berusaha menahan lengan Sammy. Tapi kurus-kurus gitu, Sammy lumayan kuat buat bikin Leo ketarik sampai ikut berdiri. "Sam—"
"Buat lo aja, Le." Kata Sammy setengah tertawa. "Udah ya, gue kelas."
Dan cowok itu melangkah menjauh, meninggalkan Leo yang masih usaha teriak, "Gue bantuin dah? Yayaya?"
Sammy mengibaskan tangan dari jauh, sambil tertawa. Mengisyaratkan kalau hal itu tidak perlu.
Sayangnya di mata Leo,
Gesture itu seakan berkata, "Atur aja."
Bikin cowok itu tersenyum diam-diam setelah Sammy menghilang di ujung koridor.
Leo tertawa, pada dirinya sendiri. Dia memang pengen banget ngejodohin teman terdekatnya itu, sama cewek yang paling disukainya.
Aneh emang.
Tapi buat Leo,
Kalau bisa bikin Hana bahagia, plus Sammy juga bahagia,
Dia nggak akan apa-apa.
.
.
."Jeff nginep di kontrakan lo?"
Dilan mengubah pernyataan Sammy menjadi pertanyaan, memastikan dia nggak salah dengar.
"Iya," Sammy menjawab tanpa menoleh. Masih sibuk sama laptopnya. "Katanya males balik ke rumah karena nggak ada orang."
Dilan terdiam.
Dia ingat percakapan Jeffri dengan ayahnya beberapa hari lalu. Jeffri bilang, nggak perlu diusir pun, dia nggak akan pulang.
Jadi,
Jeffri beneran nggak pulang ke rumahnya sejak hari itu?
"Dia masih di elo, Sam?"
Nada bicara Dilan entah kenapa bikin Sammy menoleh. Untuk beberapa saat, Sammy cuma ngeliatin Dilan.
"Nggak tuh," Sammy menggeleng. "Cuma numpang tidur semalem, terus tadi pagi langsung cabut lagi."
Hening sejenak. Dilan keliatan berpikir. Sementara Sammy udah balik sibuk sama laptopnya. Ngutak-atik entah apa.
"Tapi aneh sih," suara Sammy terdengar lagi. Cowok itu mengangkat pandangan dari laptop, terus beralih menatap Dilan. "Gue baru sadar, tadi pagi dia berangkat duluan, katanya mau langsung ke kampus. Tapi seharian ini gue belum liat dia." Sammy berhenti sebentar, berpikir. "Tadi pas kelas juga nggak masuk."
Muka Dilan seketika bingung.
Untuk beberapa saat, mereka berdua cuma liat-liatan.
"Lan," panggil Sammy akhirnya.
Dilan menoleh. Melihat Sammy lagi memberinya tatapan yang sulit diartikan.
"Is that boy okay?"
Dilan nggak bisa menjawab pertanyaan itu. Lebih tepatnya, dia merasa nggak berhak. Memangnya siapa dia, bisa menentukan apakah hidup Jeffri baik-baik aja atau nggak?
Tapi yang jelas,
Dilan mulai khawatir tentang Jeffri. Diam-diam dia berharap bisa segera ketemu cowok tinggi itu, apapun keadaannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
We're In The Rain✔
Fiksi Umum"do you hear me?" . . . Sammy, Leo, Dilan and Jeffri stayed in the same band for like two years already. People claimed they do look like siblings, or some family members. But, that doesn't mean they know each other that well. Sad truth. ㅡOct, 2018...