3.0

530 140 19
                                    

.

"Dilankuuuu?"

"Enyah lo, Lele!"

Leo tertawa geli, kemudian menjatuhkan diri di ujung tempat tidur Dilan. Kamar kosan mereka emang sebelahan sejak jaman maba. Dilan sering membiarkan pintu kamarnya terbuka kalau dia lagi sibuk ngerjain tugas di dalam. Mempermudah makhluk-makhluk kayak Leo buat seenaknya nyelonong masuk.

"Nugas?"

"Nyuci piring."

Jawaban ketus Dilan bikin Leo ngakak.

"Judes banget sih, Dilanku?"

Dilan menghela napas, mengalihkan fokus dari tugas-tugasnya dan memberi tatapan tidak bersahabat ke Leo yang lagi cengengesan di tempat tidurnya.

"Oke, oke, ampun, bos Dilan. Saya tutup mulut." Leo memperagakan gerakan mengunci bibir dengan tangannya. Dilan kembali ke tugas-tugasnya, sementara Leo rebah di kasur temannya itu.

"Lan,"

"Hm?"

"Gue cocok gak sama Hana?"

"Nggak," Dilan berpikir sebentar. "Kayak putri sama babu."

"Jujur sekali ya Dilanku ini."

Sebuah bantal melayang mengenai kepala Dilan. Bikin cowok itu menoleh kesal dan balas melempar pulpen.

"Lo kalau mau galau-galau najis jangan di kamar gue dah." Dilan berkata sadis sambil memungut kembali pulpen, kemudian meletakkan bantalnya kembali ke tempat semula.

Leo cuma ber-hehehehe garing.

"Kalau sama Sam?"

Tangan Dilan terhenti di udara. "Maksudnya, lo sama Sam? Nah, kalau itu cocok—"

"Gue normal, anjir!" Leo kembali melempar bantal yang kali ini ditangkis oleh Dilan. Cowok itu mengeluarkan suara tawa Spongebob andalannya. Bikin Leo batal melakukan serangan lebih lanjut.

"Maksud gue, Sam sama Hana?"

Dilan berhenti tertawa. "Biar apa sih, Le? Sammy gak suka Hana."

"Masa?"

"Capek ah, ngomong sama lo."

Leo nyengir konyol, setelahnya kembali merebah di kasur Dilan. Bikin Dilan menatapnya prihatin.

"Lo kalau suka, bilang lah sama orangnya, Lele."

"Doi sukanya sama Sam."

"Tapi Sam-nya nggak suka."

Leo menghela napas. Terus berguling-guling nggak jelas di kasur Dilan. Untung Dilan lagi sabar. Kebetulan tadi belum sempet beresin tempat tidur. Jadi dia nggak kesel-kesel banget liat tempat tidurnya diacak-acak seekor lele jumbo.

"Ngapa gue mesti pusing mikirin ginian doang ya, Lan?" tanya Leo sambil menerawang. Mukanya pusing beneran, minta banget diketawain.

Tapi Dilan cuma mendengus, acuh tak acuh. "Ya terus? Masa gue yang mesti pusing?"

.
.
.

Sammy sudah akan merebahkan diri di kasur ketika suara ketukan halus di pintu membuat gerakannya terhenti.

Cowok itu menyingkap kembali selimutnya, bangkit berdiri, kemudian berjalan keluar kamar, menghampiri pintu depan.

Tempat tinggal Sammy hanya sebuah rumah kontrakan kecil dengan tiga kamar. Dua penghuni lain itu seniornya di Manajemen yang sekarang lagi sibuk PKL, hanya sesekali mampir dengan jadwal tidak tetap.

Jadi Sammy berpikir,

Mungkin yang mengetuk pintu barusan itu adalah salah satu dari dua seniornya, yang sedang memutuskan untuk tidur di kontrakan.

Tapi begitu pintu terbuka, Sammy justru melihat sosok jangkung Jeffri di teras. Tersenyum lelah, menenteng ransel kuliah sertas tas bass-nya.

"Jeff?"

Jeffri mengangkat sebelah tangannya, seolah sedang melambai. "Can I have a night here?"

Sammy menatap kawannya itu sebentar. Bibirnya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi wajah lelah Jeffri membuatnya enggan.

Jadi tanpa bertanya apa-apa, Sammy hanya tersenyum sekilas. "Yeah," katanya pelan. "Sure."

.
.
.

"Sam, are you sleeping?"

Sammy membuka kembali matanya yang sudah ia pejamkan. Tatapannya langsung mengarah ke langit-langit kamar. Ia malas bergerak. Hanya menolehkan kepalanya ke samping lalu bergumam, "What is it, Jeff?"

Sejenak berlalu, Jeffri tidak menjawab. Sammy menahan keinginannya untuk bergerak ke pinggir tempat tidur karena tubuh lelahnya menolak keinginan itu.

"Well," suara Jeffri terdengar ragu. "I just want to ask... things."

Berontak dari sinyal lelah tubuhnya, Sammy akhirnya bergeser ke pinggir kasur. Kepalanya terjulur demi mencari sosok Jeffri yang tengah berbaring di kasur bawah. Mata Jeffri yang sebelumnya menerawang, kini beralih ke arah Sammy.

Cowok jangkung itu nyengir sekilas.

"What things?" Sammy bersuara lagi.

Jeffri nggak langsung menjawab. Matanya kembali menatap langit-langit. Ia seolah berpikir. Kemudian, suaranya terdengar setelah menghembuskan napas pelan,

"What will you do if you're not allowed to do things you love?"

Sammy terdiam sebentar. Melihat mata Jeffri yang sekarang sedang mengarah padanya, menunggu jawaban.

Tapi cowok itu justru tertawa.

"Kalau itu hidup lo, harusnya nggak ada yang berhak ngelarang lo ngelakuin sesuatu," Sammy berpikir sebentar. "Tapi hal yang lo suka itu bukan nyolong, kan?"

Pertanyaan bercanda itu bikin Jeffri hampir bangun dari baringnya, bersiap melempar Sammy dengan sesuatu. Refleks, Sammy berguling sedikit ke tengah kasurnya sambil tertawa tertahan.

"Kenapa?" tanya Sammy setelah selesai tertawa dan memastikan keadaan sudah aman. "Ada yang ngelarang lo ngapain?"

Jeffri bergerak menyamankan posisinya. "Bukan gue. Temen gue tadi abis cerita-cerita, terus minta pendapat." Jeffri menoleh ke arah Sammy yang kini kembali menjulurkan kepalanya di pinggiran tempat tidur. "Gue mana ngerti yang kayak ginian. Makanya pengen tanya pendapat lo aja."

Sammy tersenyum mendengarnya. "Thought it was about you," cowok itu kemudian kembali berbaring di kasurnya, menatap langit-langit. Membuat Jeffri tidak lagi bisa melihat kepalanya yang terjulur.

"Gue mana bisa mikir yang berat-berat gitu," keluh Jeffri.

Sammy ketawa pelan. "Glad to hear that, then. Glad to know you're that lucky, Jeff."

Jeffri bisa merasakan kalau kalimat itu tulus. Kalau Sammy memang semata-mata ikut senang karena mengira hidup Jeffri semulus dan semudah itu.

Tapi kalimat Sammy barusan justru bikin Jeffri menghela satu napas lelah.

"If only you know, Sam," bisik Jeffri tanpa suara. "I am not that lucky, am I?"



***

Double update to cheer myself up :")

I will take this chance to sincerely thank everyone who took a visit and leave any votes or comments on this work.

Really. Thank you so much♥

We're In The Rain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang