.
Sammy Kaffareza memang bukan cuma tentang suara bagusnya,
Atau senyum dan wajah attractive-nya.
Bukan juga cuma tentang popularitasnya sebagai vokalis band.
Lebih dari itu, semua orang yang kenal Sammy pasti bakal bilang Sammy tuh pintar dan enak diajak diskusi, tentang apa aja.
Kayak waktu itu Hana pernah ngangkat topik tentang keadaan perekonomian negara yang katanya lagi kacau, dan Sammy bilang,
"Iya, sebenernya nggak sepenuhnya salah pemerintah, tapi nggak berarti pemerintah gak punya andil juga," Sammy berhenti sebentar, keliatan berpikir. Sementara Hana menyimak, berusaha menyimpan baik-baik sosok Sammy yang ini dalam memorinya. "I'm not siding anyone, maksudnya, our government still has a big room for improvement tapi lucu aja kalau semua orang dikit-dikit nyalahin pemerintah."
Hana cuma ngangguk-angguk. Sebagai anak FISIP, dia udah biasa mendengarkan atau bahkan join di diskusi berbagai isu, mulai dari topik sosial politik, sampai yang ekonomi kayak gini.
"Kayak waktu kemarin rupiah tembus lima belas ribu," Sammy keliatan serius. "Itu kan karena Fed Rate naik. Ekonomi kita kan masih kena efek banget sama faktor-faktor eksternal kayak gitu. Ya gimana, negara berkembang. Nah, peran pemerintah tuh, gimana mereka bisa tanggap menghadapi eksternal-eksternal yang kayak gitu, plus terus usaha nguatin internalnya."
Hana masih menyimak dengan serius. Nggak banyak menginterupsi.
"Kalo gue sendiri cenderung netral jadinya. Ya, diskusi-diskusi kayak gini asik juga sebenernya. Biar mahasiswa punya pemikiran yang lebih terbuka karena bisa saling liat pendapat berbagai sisi. Kan siapa tahu nanti gue yang jadi Menteri Ekonomi," Sammy tertawa.
Hana juga.
Dalam hati, Hana tahu banget cowok itu cuma bercanda.
Mana mungkin Sammy mau jadi Menteri kalau yang dia cinta selama ini cuma gitar dan musiknya?
Obrolan-obrolan kayak gitu yang bikin Hana merasa makin klik sama Sammy. Cowok itu selalu open for any discussion, topik apa aja.
Bahkan kalau Hana coba ngomongin masalah sosial politik atau apapun itu,
Sammy bisa dengan nyaman mengimbangi atau sekedar memberikan pendapat dan pandangannya.
Kayak sekarang,
"Balik ke lingkungan keluarga sih," kata Sammy sambil menggigiti sedotan es tehnya. Mereka lagi bahas masalah perilaku dan karakteristik anak-anak jaman sekarang yang keliatannya agak lebih rusak dari jaman mereka jadi anak-anak. "Maksudnya gini, kalau menurut gue, keluarga itu pembentuk kepribadian nomor satu dari sejak si anak masih kecil. Terus baru tuh lingkungan pertemanan, waktu si anak mulai sekolah, atau interaksi sama orang selain keluarganya."
"Tapi how do you think about... gimana ya? Keluarganya baik, tapi anaknya aja yang rusak sendiri karena pertemanan?"
"Berarti komunikasi di keluarganya kurang?" Sammy terlihat ragu. "Gue nggak tahu sih, ini pendapat gue doang, nggak ilmiah," cowok itu ketawa. "Tapi kalau seorang anak dapet bekal karakter yang cukup dari keluarganya, dia bakal bisa cukup kuat bersikap di lingkungan pertemanan. Nggak gampang kebawa. Kalaupun ternyata tetep kebawa, mungkin karena dia merasa kurang deket sama orang tuanya? Jadi dia justru deket dan lebih percaya sama temen?"
Hana tersenyum mendengar penuturan Sammy. Satu lagi fakta tentang Sammy yang Hana bisa kumpulkan selama sering interaksi sama cowok itu; orang lain selalu bisa membaca hal-hal tersirat dari cara Sammy menyampaikan sesuatu.
Kayak yang barusan itu,
Hana bisa merasakan gimana Sammy emang seorang yang dekat sama keluarganya.
"I love your point of view," puji Hana jujur, bikin Sammy ketawa kecil.
"Then, tell me," sambung cewek itu, menatap Sammy serius. "How about your family? You must be, I don't know, so very close with them then...?"
Sammy nggak langsung menjawab. Cowok itu cuma tersenyum sendiri. Seolah sedang memikirkan hal lain dan nggak lagi duduk bareng Hana sekarang ini.
"Well," kata Sammy ketika akhirnya bersuara. "I'm feeling blessed enough just by having them in my life."
Dan Hana nggak tahu, kalau jatuh cinta berkali-kali itu memang memungkinkan,
Bahkan, tanpa alasan yang benar-benar jelas atau masuk akal.
.
.
."Le, makan."
"Le...?"
"Le, jangan bengong, nanti mati."
"Lele!"
"Iya, mas?"
"Eh," Dilan menoleh salah tingkah.
"Masnya mau nambah lele?"
"Eh, nggak, mbak," Dilan senyum-senyum tengsin. "Ini saya lagi manggil temen saya."
"Oh?" Si mbak warung pecel lele itu terlihat ragu. Tapi kemudian mundur lagi ke tempatnya sambil menggumam, "Ganteng-ganteng kok dipanggilnya lele."
Dilan menghembuskan napas. Lelah setengah malu.
"Le, katanya mau makan?" tanya Dilan, menoleh ke Leo yang duduk di sebelahnya.
"Bungkus aja deh, Lan. Gue makan di kosan aja." Leo menjawab sambil lalu, tanpa semangat, kemudian menyesap teh hangatnya.
"Lo kenapa sih?"
"Nggak pa-pa."
"Hana lagi?"
Terdengar suara hembusan napas Leo.
"Lo kayaknya udah jadi sinting gara-gara Hana," Dilan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. "Kalau lo sesuka itu harusnya gak usah sok-sokan nyomblangin dia sama Sam."
Leo menoleh, tersenyum tipis. "I have no regret, tho."
Dilan menatap kawannya itu. Untuk beberapa saat, sampai akhirnya mengalihkan pandangan. "Yeah," katanya. "But you're dying inside."
Menyisakan Leo yang makin nggak tahu harus merasa apa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
We're In The Rain✔
General Fiction"do you hear me?" . . . Sammy, Leo, Dilan and Jeffri stayed in the same band for like two years already. People claimed they do look like siblings, or some family members. But, that doesn't mean they know each other that well. Sad truth. ㅡOct, 2018...