14.0

315 98 21
                                    

.

"Le!"

Leo yang sudah akan keluar kelas terpaksa menghentikan langkah dan menoleh.

Menemukan Hana mendekat ke arahnya.

Diam-diam, Leo menghela napas.

Bukan. Bukan dia jadi benci Hana sejak cewek itu beneran jadi dekat sama Sammy. Leo nggak akan bisa membenci Hana. Apalagi membenci Sammy.

Tapi belakangan ini,

Leo rasanya ingin mengistirahatkan hati dan menjauh dulu dari interaksi sama Hana.

Satu hal yang susah dilakukan memang, mengingat lingkaran pertemanan mereka yang dekat banget.

Jadi, sambil berpura-pura manis, Leo tersenyum. "Kenapa, Han?"

"Aku boleh nitip sesuatu nggak?"

Alis Leo terangkat, bertanya. "Nitip apa? Buat siapa?"

"Buat Sam." jawab gadis itu malu-malu.

Leo menertawakan kebodohannya sendiri dalam hati.

Kenapa dia masih harus bertanya?

"Oh," senyum Leo masih terkembang. Mungkin setelah ini, dia harus memberikan award pada dirinya sendiri. Pemain watak terbaik. "Boleh aja. Mau nitip apaan?"

Hana mengulurkan sebuah kotak berukuran sedang. Leo mengambilnya.

"Ciee," katanya sambil menimang kotak di tangannya. "Apaan nih?"

"Strap gitar," jelas Hana. "Aku liat punya dia kayaknya udah lama. Pengen ngasih aja buat ganti-ganti."

Leo meringis.

Bagaimana cara memberitahu cewek di depannya ini kalau Sammy nggak akan menggunakan benda itu?

Strap yang sekarang Sammy pakai adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya saat dia masih SMP. Benda itu udah kayak lucky charm buat Sammy. Meski udah keliatan lusuh, benda itu udah ikut Sammy manggung kemana-mana.

Pernah ada senior yang menghadiahi Sammy benda yang sama. Dan pemberian seniornya itu bahkan masih terbungkus rapi di lemari di kontrakan Sammy.

Tapi gimana kalau Hana yang ngasih?

Dalam hati, Leo mencatat kemungkinan kalau Sammy akan bereaksi berbeda ketika tahu ini pemberian Hana.

Mungkin saja, kan?

"Le?"

"Eh," Leo kembali dari lamunannya. "Iya?"

"Kok bengong?" Hana tertawa. Leo nyengir garing. "Kalian latihan ya hari ini?"

"Iya," kata Leo, memasukkan kotak dari Hana tadi ke tasnya. "Kan weekend ini manggung."

"Pengen nonton," Hana terlihat sedih. "Tapi weekend ini aku udah ada janji."

Leo cuma mengulas senyum. "Next time, Han."

"Iya."

"Yaudah, gue duluan ya?"

Leo sudah berbalik dan akan melangkah ketika Hana memanggilnya lagi. Membuat dia menoleh, lagi.

"Thanks ya, Le."

"Buat?"

"Everything."

Hana tersenyum manis. Dan Leo menyesali kenyataan bahwa dia memahami sepenuhnya arti ucapan terima kasih itu.

Terima kasih karena sudah membantunya lebih dekat dengan Sammy.

Kurang lebih, itu yang mau disampaikan Hana, Leo tahu.

Jadi, Leo cuma menjawab, "Anytime.", dengan nada getir yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

.
.
.

Leo memasuki ruang studio yang pintunya setengah terbuka. Di depan pintu tadi, rasa penasarannya terusik karena mendengar suara gitar mengalun.

Memainkan sebuah musik yang nggak begitu asing, tapi juga bukan musik yang familiar buat Leo.

Bukan jenis lagu yang biasa dimainkan teman-temannya, tapi Leo merasa pernah dengar entah dimana.

Jadi, sambil menebak-nebak siapa yang ada di dalam, Leo melangkah masuk.

Hanya untuk melihat sosok menjulang Jeffri duduk bersila di tengah ruangan, memunggungi pintu, sibuk dengan gitar di sana.

"Jeff?"

Petikan gitar Jeffri terhenti. Sosok itu menoleh.

"Oh? Udah nyampe, Le?" katanya, basa-basi.

Leo nggak menjawab. Cowok itu bergegas mendekat.

"Itu barusan apa ya? Gue kayak pernah denger?"

Jeffri melanjutkan petikan gitarnya, menyambung nada sebelumnya, lalu memandang Leo.

"Pasti pernah denger. Ini BGM yang suka diputerin kalau lagi jam istirahat pas ospek kampus dulu. Inget gak lo?"

"Oh, iya!" Leo tertawa mengingat masa-masa itu. Masa dia belum kenal Jeffri, Dilan ataupun Sammy. "Kok lo tiba-tiba...? Random amat?"

Jeffri meringis. "Gue abis dipaksa nonton video kampanye temen gue. BGM-nya ginian. Jadi terngiang-ngiang."

Leo tertawa keras sampai memukul-mukul lantai di sisinya. "Video kampanye buat apaan?"

"Nyalon ketua BEM fakultas."

Tawa Leo makin menjadi. Jeffri dan segala hal-hal nggak penting dalam hidupnya emang selalu menjadi hiburan tersendiri buat Leo.

"Jepang-jepang gitu kan ini tuh? Apa deh judulnya?"

"Don't you think it was a good day."

Leo manggut-manggut. Kemudian menggeleng pelan, "No, I don't."

Jeffri menoleh. Nggak sempat tertawa atau apa, karena hal ini termasuk percakapan normal buat mereka. Jadi, cowok itu cuma menimpali, "Yeah, me too."

Bikin alis Leo terangkat. "You too? Seriously? Kenapa lo?"

Jeffri cuma nyengir sekilas. Menyelesaikan petikan gitarnya sampai lagu itu selesai. Kemudian meletakkan gitarnya di lantai. "Ada lah. A thing or two." Katanya ringan.

Leo mendekat dan menepuk-nepuk pundak Jeffri, seolah prihatin.

Keduanya lalu berangkulan.

"Ewh," suara seseorang bikin mereka saling melepaskan diri dan menoleh ke pintu. "Gue harus nyanyiin 'insaflah wahai manusia' buat kalian berdua nggak nih?" tanya Dilan ketus sambil memasuki studio.

Jeffri menghela napas.

"Lan," katanya dengan nada lelah. "Kamu nggak usah cemburu gitu dong, aku bisa jelasin..."

"Enyah lo dari Dilan gueeee!" sahut Leo, mendorong Jeffri menjauh.

Jeffri dan Leo kemudian tertawa bersamaan sementara stik drum Dilan udah melayang di udara.

"Aduh! Dilan, kebiasaan banget sih?!"

"SAM, SORI! GUE GAK SENGAJA!"

Tawa Jeffri dan Leo makin nggak karuan seiring dengan tubuh keduanya yang sudah sama-sama setengah berguling di lantai studio.



***

We're In The Rain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang