.
"Jeff, you okay?"
Pertanyaan Dilan bikin Jeffri yang lagi tiduran di kasurnya menoleh.
"I am...?" Cowok jangkung itu menatap bingung. "Maksudnya apa nih?"
Dilan menghela napas. Dia bangkit dari kursi meja belajarnya, kemudian berjalan mendekat. "Lo tiba-tiba ke sini, terus udah sejam cuma tiduran di kasur gue. Gue harus mikir apa?"
Jeffri tersenyum. "Thank you for being too sensitive about everything."
"Kenapa?"
"Karena cuma lo yang seenteng itu bilang lo tahu semuanya, jadi gue pengen aja ke sini."
Dilan nggak langsung menanggapi. Matanya memandang Jeffri lurus-lurus. Ia masih berdiri di sisi tempat tidurnya. Sementara Jeffri masih dalam posisi terlentang, sibuk dengan menggulir layar ponselnya.
"Kita kan temen," sahut Jeffri lagi. Suaranya masih setenang sebelumnya. Seolah tanpa beban. "Susah senang bareng-bareng. Karena gue lagi susah dan lo nggak, ya gue harus nyusahin lo." Jeffri nyengir, sementara Dilan sama sekali nggak tersenyum.
Dilan menghela napas. "Stop being an always-happy icon then, you dumbass."
Senyum Jeffri berubah. Kali ini matanya menyiratkan kesedihan.
"Gue capek, Lan."
"Gue tahu."
Hening sejenak. Jeffri bergerak. Kali ini berbaring menghadap tembok dengan punggung terarah ke Dilan. "Gue nginep sini ya, malem ini."
Dilan menghela napas lagi, kali ini tanpa suara.
"Masalah nggak akan selesai kalau lo cuma kabur terus, Jeffarian." Dilan duduk di tepi tempat tidurnya, mengambil salah satu bantal. "Gue nggak tahu lengkapnya. Tapi lo udah gede. Cukup dewasa buat nentuin sendiri apa yang lo pengen jalanin di hidup lo."
Jeffri masih diam memunggungi Dilan.
"Bokap gue pernah bilang kalau sebagai orang tua, pasti cuma pengen liat anaknya bahagia," Dilan masih bicara sambil menyiapkan alas tidur untuk dirinya sendiri di lantai. Tempat tidurnya hanya cukup untuk satu orang, dan dia sama sekali nggak keberatan membiarkan Jeffri tidur di sana kalau itu bisa memberikan kenyamanan.
Kenyamanan yang sulit Jeffri dapatkan di rumahnya sendiri.
"Tell him what makes you happy," Dilan berhenti, menatap punggung Jeffri. "Kalau keras dilawan keras juga, ya nggak ada ujungnya. Coba dilunakkin. Bahkan batu aja kalah sama kertas."
"Sama air kali, Lan."
"Ini gue lagi ngomongin batu-gunting-kertas."
Jeffri mendengus tertawa.
Dilan emang nggak senormal yang orang-orang pikir.
Jeffri memandang tembok di depan matanya. Dalam hati ia membenarkan semua omongan Dilan.
Tapi masalahnya,
Semuanya nggak semudah itu.
Jadi daripada mendebat, Jeffri cuma menggumam, "Night, Dilan."
Bikin Dilan menyahut, "Lo kalau mau menggelikan gitu, mending pindah aja ke kamar sebelah."
Jeffri tertawa dengan mata terpejam. Mungkin di malam lain, dia sama sekali nggak masalah kalau harus pindah ke kamar Leo. Tapi malam ini, Jeffri butuh seseorang yang mengerti.
Yang bisa memahami cerita lain hidupnya tanpa dia harus menjelaskan apa-apa.
Dan Jeffri tahu, Dilan selalu bisa diandalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're In The Rain✔
General Fiction"do you hear me?" . . . Sammy, Leo, Dilan and Jeffri stayed in the same band for like two years already. People claimed they do look like siblings, or some family members. But, that doesn't mean they know each other that well. Sad truth. ㅡOct, 2018...