.
"Lo ngapain ke sini?"
"Mastiin temen-temen gue masih hidup." jawab Jeffri sambil nyelonong masuk ke kontrakan Sammy. "Kalian tuh kenapa sih," Jeffri kelihatan kesal. "Gue kira udah membaik, gak tahunya malah lo sama Dilan ikutan ribut."
Sammy tersenyum kecut.
Dia sendiri nggak ingin ada di posisinya sekarang.
"Lo udah tahu?" tanya Sammy, basa-basi. Keduanya duduk di ruang tamu.
"Gue abis dari kosan Dilan," Jeffri menghela napas. "Dia udah cerita dikit-dikit."
"Sori, Jeff."
Jeffri menoleh. "Buat?"
"Gue juga bohongin lo, kan?"
Cowok jangkung itu menghela napas kasar. "Nggak penting. Gue cuma nggak suka liat kalian kayak gini."
Sammy diam.
Memangnya dia suka dengan situasi ini?
"Lo tahu gak, Sam," kata Jeffri setelah terdiam lama. "Bukan cuma lo yang punya hal-hal yang gak bisa lo ceritain bahkan ke salah satu dari kita sekalipun,"
Kepala Sammy bergerak, matanya menatap Jeffri yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu yang berat.
"Gue juga." ucap Jeffri akhirnya.
"Pardon?"
Jeffri menghela napas dalam. "Gue nggak sebahagia yang lo liat. Bokap nggak suka gue nge-band. Tahu kenapa gue sering nitip bass di sini atau di kosan anak-anak? Karena kalau gue bawa pulang, itu bass bisa dibanting sampai nggak berbentuk."
Atmosfer canggung meliputi keduanya. Sammy bergerak nggak nyaman. Dia nggak pernah menyangka salah satu temannya ternyata menghadapi situasi serumit itu.
"Jadi selama ini lo...?"
"Pura-pura bahagia," kata Jeffri, tersenyum tipis. "Nggak pura-pura juga sih, tapi ya... Gak sebahagia itu juga. I am not that lucky."
Keduanya terdiam lagi. Sammy menatap Jeffri, berusaha memahami yang dialami Jeffri selama ini.
Selama ini, ia cuma tahu Jeffri yang selalu tertawa dan merasa ringan soal hidupnya.
Tiba-tiba, Sammy memahami alasan kenapa Jeffri semudah itu tertawa, atau menertawakan hal-hal kecil yang menurutnya nggak penting.
Semuanya menjadi lebih jelas sekarang.
"Bokap nggak suka gue ngemusik, apalagi nge-band. Katanya cuma buang-buang waktu," Jeffri bicara, masih dengan wajah santainya yang biasa. "Tapi gue tahu alasan sebenarnya bukan itu."
Sammy hendak bertanya, tapi tenggorokannya terasa terlalu kering untuk mengeluarkan suara.
"Waktu gue masih SMP, abang gue meninggal, overdosis," sorot mata Jeffri berubah nanar. "Dulunya dia anak yang baik, nggak pernah macem-macem. Semuanya berubah sejak dia mulai ikut-ikut nge-band sama temen-temennya yang ternyata rusak semua. Pecandu."
Jeffri tertawa sumbang. "Sejak itu bokap jadi keras. Gue disuruh fokus belajar aja, dipaksa jadi pewaris, diarahin buat ngegantiin bokap nerusin perusahaan," Jeffri menghela napas. "Gue gak butuh semua itu, Sam. Tapi, gue bisa apa?"
"Jeff—"
"Inget waktu lo tanya tangan gue kenapa?" Jeffri menunjuk salah satu titik di lengannya. "Itu gue bukan kepentok. Itu hadiah dari bokap pas tahu gue masih aja gak nurut." Jeffri nyengir sedih.
"Dan lo tahu?" sambung Jeffri lagi. "Selama ini Dilan tahu kalau gue nggak sebahagia itu. Dia nggak tahu detil soal abang gue itu sih, tapi," Jeffri berhenti sebentar. "Dia tahu kalau gue nggak sebahagia keliatannya."
"Gimana Dilan bisa—?"
"Gue juga gak tahu. Keliatan, katanya." Jeffri ketawa.
Untuk sejenak, Sammy diam karena berusaha mencerna apa-apa yang baru saja terjadi belakangan ini.
Ternyata,
Semua emang nggak sebaik kelihatannya.
Bahkan mungkin, hubungan dia dan yang lain juga nggak sebaik kelihatannya.
"Intinya, ya," Jeffri menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Tadi gue ke kosan Dilan juga nyeritain ini. Gue nyoba memposisikan lo di posisi gue, yang nggak semua hal bisa dibagi ke orang lain." Jeffri menatap Sammy. "Kayaknya Dilan bisa nangkep maksud gue, but still," dia berhenti sebentar. "You two need a talk. A very long talk, kalau perlu."
Sammy tergugu. Dia belum pernah berada di posisi se-'enggak bisa apa-apa' seperti sekarang.
Untuk sesaat Sammy sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Jeff," panggil Sammy akhirnya, membuat Jeffri menoleh. "Thanks."
Jeffri mengibaskan tangannya sambil tersenyum tipis.
Hening sejenak.
"Dan soal lo sama Lele—"
Sammy berdecak bahkan sebelum Jeffri menyelesaikan kalimatnya. "That asshole."
Bikin Jeffri nyengir. "Yeah. That asshole," ulangnya, seolah membenarkan. "Lo juga harus ngomong sama dia, Sam."
Sammy menghela napas. "Gue nggak ngerti sama jalan pikiran dia," luap Sammy. "Dia kenal gue paling lama tapi kelakuannya kayak yang nggak kenal gue sama sekali?"
Jeffri diam, mendengarkan.
"Gue gak ngerti kenapa dia—"
"Lele suka sama Hana sejak masih maba. Suka beneran."
Ganti Sammy yang terdiam.
Bahkan, fakta sekecil itu pun, luput dari perhatiannya.
Mendadak, Sammy merasa dia memang teman yang buruk.
Yang nggak pernah tahu apa-apa tentang teman-temannya dan nggak pernah berusaha mencari tahu.
Mungkin Leo ada benarnya,
Selama ini Sammy cuma fokus sama dirinya sendiri. Selama ini Sammy menganggap cuma dirinya yang penting. Yang lain nggak masuk hitungan.
"Gue nggak tahu," kata Sammy akhirnya.
Jeffri tersenyum maklum.
"Tapi Hana sukanya sama lo, dari tahun pertama kayaknya. Lele tahu. Dia pernah berusaha deketin lo sama Hana, kan?"
Sammy mengangguk.
"Tapi dia harusnya tahu, kan, gue gak bakal—lo tahu, macarin Hana atau semacamnya?" Sammy berusaha membela diri. Seenggaknya, saat ini dia butuh pembenaran untuk dirinya sendiri.
"Tapi dia liat lo se-open itu sama Hana," Jeffri berkata tenang. "Orang bisa berubah, Sam. Dan mungkin, itu yang Lele liat dari lo. Mungkin dia mikir lo udah berubah?"
Sammy menghela napas. "That dumbass."
"Is your dearest friend." sambung Jeffri, tertawa.
Membuat, mau nggak mau, Sammy membenarkannya dalam hati.
.
.
.***
KAMU SEDANG MEMBACA
We're In The Rain✔
General Fiction"do you hear me?" . . . Sammy, Leo, Dilan and Jeffri stayed in the same band for like two years already. People claimed they do look like siblings, or some family members. But, that doesn't mean they know each other that well. Sad truth. ㅡOct, 2018...