Geh Weg

45 5 0
                                    

"Kejutan!" Teriak Kak Ganesh di sofa ruang tamu rumah Ranu dengan nada datar,sedatar - datarnya

"Loh Kak, lo nggak bilang mau kesini."

"Yah, kalo gue bilang bukan kejutan namanya, gue juga di amanah kan ibu buat teriak kejutan"

"Baru kali ini gue lihat lo bikin kejutan kayak gini. Lagian ngapain sih lo kesini?. Mau cari istri bule ? Ingat yang lokal banyak yang cantik-cantik​ jauh jauh amat nyari sampe ke Austria, oh atau lo kangen ya sama gu...Aaaaaa rawonnya Ibu, siniin kak!"

Kak ganesh mengangkat kotak makan besar berisi rawon ibu, kesukaan gue.

"Suudzon banget sama gue, ibu kasian sama lo. Lo disini makan roti mulu kan, mentok-mentok steak. Ranu yang bilang ke ibu." Ucap Kak Ganesh sambil memberikan kotak berisi rawon tersebut.

Gue segera menuju dapur untuk mengambil piring dan nasi.
"Rawon ibu terenak. Harus belajar bikin nih gue Kak, masa alasan lo kesini cuma buat nganterin rawon, lidah gue kampung Kak. Makanan disini nggak ada yang cocok sama gue."

"Lo nggak perlu tau. Gue balik dulu!"

"Lah lo mau balik ke Indonesia?, Cepet banget"

"Nggak, gue balik ke hotel"

"Terserah lo Kak. Gimana mau dapet pacar gitu kan Kakak gue, datar banget kayak spanduk kampanye."

Gue agak heran kenapa gue bisa se-hiperaktif ini sedangkan kakak gue orangnya tenang, kalem, diam, bijaksana. Tapi, gue bersyukur gue jadi diri gue yang ini. Gue nggak bisa bayangin kalo gue punya kepribadian yang terlalu diam, feminim, etc.
-
Malam harinya ketika sedang makan malam bersama Ranu, gue berniat menceritakan tentang tugas dari Prof. Munich.

"Ranu, gue mau ngomong sama lo. Beranda belakang."

Ranu menjawab hanya dengan anggukan kepala. Gue segera duduk di sofa beranda belakang. Tak lama Ranu datang.

"Kenapa Jan?"

"Gue dapet tugas dari dosen. Katanya beliau gue disuruh keliling indonesia"

"Terus?"

"Ya nggak ada maksud apa-apa sih. Cuma mau bilang aja, boleh kan Ran?. Gue agak insecure aja kalau suatu saat pas gue lagi keliling indonesia ketemu dia"

"Lo kayak mau izin sama suami aja. Ya, boleh lah. Jangan mau kalah sama ketakutan lo, kalau misalkan nati lo ketemu sama Aksara, anggap aja dia tukang cilok, yang notabene lo nggak kenal sama sekali."

"Jangan geer,Kan lo sahabat gue. Cilok. Gue kenal ya satu tukang Cilok, Mang Adin"

"Hahahaha, Mang Adin apa kabar ya sekarang. Lo pernah ngambek gara gara ciloknya Mang Adin habis kan...terus ada cewek yang ngasih lo setengah ciloknya yang dia beli."

"Hahahha iya, Si Adhisa. Eh, btw lo kok adem-adem aja. Nggak kecantol bule sini atau gimana, perasaan lo nggak pernah jalan sama cewek. Kalo gini lo mau nggak gue comblangin sama Adhisa?"

"Kenapa gue adem ayem aja, soalnya yang bikin hati dan perasaan gue adem udah ada."

"Oke deh kalo gitu" jawab gue sambil mengedikkan bahu.

"Kapan?"

"2 Bulan lagi"

"Nanti gue antar ke Bandara"

"Beneran, thank you Ranu. You are my everything."

"Dikira gue bebelac"

-

Besoknya gue janjian sama Adhisa di cafe kampus buat ngobrol. Ya, semacam Tukar​ pikiran. Orang kayak gue dan Adhisa banyak gaya banget pake istilah tukar pikiran.

"Halo Dhis, Lo dimana?"

"Sorry, gue agak telat datengnya"

"Yah, yaudah cepetan ya beb"

Adhisa dan telat, kebiasaan dari lama. Gabut banget gue. Matkul hari ini gak banyak. Masih lama juga gue masuk. Pandangan gue tertuju pada pengujung cafe yang baru masuk.

Klenting...

Suara khas bel yang tepat berada di pintu masuk kafe.

'Kok kayak nggak asing ya gue?'

Gadis dengan potongan rambut sebahu, menggunakan coat coklat dan baju tebal model turtle neck berwarna hijau lumut. Celana stripe hitam dipadu dengan tas fjalraven-kanken hitam yang diberi pin dan sepatu boot hitam.

'Hah?!, Pradnya...'

Iya, perempuan itu adalah Pradnya. Pradnya Ratarana Zaheera. Masih Pradnya yang sama. Yang dibacakan puisi oleh Aksara. Yang dinyatakan cinta oleh Aksara. Semua berhubungan dengan Aksara.

Bertahun-tahun lalu, gue nggak tau kelanjutan kisah mereka setelah gue kabur dan ketemu Ranu. Lagi. Dia terima atau nggak cintamya Aksara ya gue juga bodoamat. Lah kok jadi curhat.

Akhirnya Adhisa datang, sambil membawa hand bouquet bunga lily putih. Kenapa harus Lily sih, Dhis.

"Wow, dapat bunga dari siapa, Dhis?. Pacar, gebetan, atau dari selingkuhan?"

"Enak aja!, Ini bunga buat lo. Lagi mau beliin lo sesuatu aja. Gaenak lagian gue telat mulu."

"Thanks Dhis." Gue terima bunganya dengan rasa agak mengganjal.

"Sepet amat muka lo Jan?, Nggak suka sama bunganya?"

"Hah?, Nggak kok gue suka tenang aja lagi bad mood aja gue."

"Tau gue tau. Mau ngomongin apa nih hari ini?"

'Bouquet Lily, Aksara, dan Pradnya. Huft.'

Gue mengawali pembicaraan tentang tugas dari dosen tercinta. Gue nggak akan ngomong masalah kehadiran Pradnya disini.

"Ya, gitu Dhis. Gimana menurut lo?, Gue kayak semacam bahan sisaan gitu. Bete nggak sih."

"Kalo gue jadi lo langsung gue terima" jawab Adhisa menggebu-gebu. "Kapan lagi tugas sambil jalan-jalan. Gratis pula, siapa yang nolak"

"Mahasiswa lain nolak. Alibinya mereka macam-macam ada yang neneknya lagi sakit suruh jaga, ada yang kerjaan part-time yang nggak bisa ditinggal, ada hubungan yang lagi ada diujung tanduk dan masih banyak lagi."

"Rinjani"

"Hmmm" wah anak ini kalo manggil nama gue full ada sesuatu nih pasti.

"Kapan siklus itu bakal berhenti. Gue capek."

"Siklus?. siklus Menstruasi? Nanti kalo masuk masa menopause lah." Jawab gue sambil mengesap caramel machiato di mug putih gading.

"Rinjani. Lo bisa nggak sih serius sebentar aja!?"

"Oh, jadi lo lagi serius nih?. Sorry. Menurut gue siklus itu nggak bakal berhenti. Kita suka sama sesorang lalu orang itu suka sama orang lain, kita patah hati dan terpuruk lalu bangkit. Terus berulang kayak gitu." Lugas gue dengan tangan sambil memegang mug. "Walaupun nanti kita menikah pun masih akan terus lanjut siklus itu. Malahan bakal jadi rumit. Kondisi kita disana-menjadi milik seseorang-akan memperumit kalo terjadi siklus ini. Contoh, lo suka sama Si A tapi lo bersuami rasa suka lo ke Si A itu terlarang. Bisa menimbulan masalah dimana-mana, intinya bakal lebih rumit."

Adhisa yang tadinya biasa saja sekarang berubah diam. "You get points from my talk right?" Dijawab hanya dengan anggukan pelan Adhisa.

"Huft. Akhirnya, eh tunggu kayaknya gue kenal dia deh. Lo coba liat meja nomor 4 di dekat jendela itu." Ucap Adhisa sambil menunjuk meja yang ditempati Pradnya.

Spontan gue nengok dan voila Adhisa teriak.

"PRADNYA!!" Teriakan khas Adhisa menggelegar se antero cafe. Yang merasa namanya dipanggil pun menoleh dan mencari sumber suara.

'Ok, hitungan ketiga harus cabut dari sini'

'Satu...dua...tiga...kabur'

"Eh Rinjani, lo mau kemana?!"









rendezvouz [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang